Seusai Distra meninggalkan Ara karena marah, Ara memutuskan untuk mengejarnya tapi sebelum itu Ia harus menitipkan Hanif kepada orang tuanya yang sedang bercengkrama bersama Disya sembari mengemil batagor siomay."Aku titip Hanif dulu Mbak. Ada yang perluku urus." Kata Ara buru-buru.
Perempuan itu berlari dengan high heels. Keluar dari pintu gedung Ara tidak melihat sama sekali keberadaan laki-laki yang Ia rindukan selama kurang lebih 7 tahun ini. Ia merasa telah melakukan kesalahan lagi padahal mereka baru saja bertemu setelah sekian lamanya.
Di parkiran, Ara melihat pria yang tingginya sekitar 187 CM, dengan menggunakan setelan goldy outfit berwarna navy tanpa di sertai dasi. Ara berlari menuju pria yang dimaksud adalah Distra, setelah itu menarik ujung Jas pria itu agar tidak bisa pergi lagi darinya.
Distra berbalik, ia menatap Ara dengan wajah teduh, marah, sekaligus kecewa. "Apa lagi?"
"Aku minta maaf, aku nggak tahu kalau kamu bakal semarah ini denganku." Ujar Ara masih dalam memegang ujung Jas yang dikenakan Distra.
Pria itu mendengus. "Dari kemarin aku persiapin diri kalau harus ketemu sama kamu. Aku ... aku harus terima kenyataan kalau kamu mungkin udah dapat laki-laki yang lebih baik dari aku dan tadi ... aku kaget pas ada yang panggil kamu bunda dan kamu malah ngomong kalau itu anak kamu."
Ara tertunduk. Ia kembali melakukan kesalahan lagi dan lagi setiap berhadapan dengan Distra.
"Aku kira kamu juga udah punya perempuan yang lain makanya—,"
"Nggak! Aku tunggu kamu tujuh tahun tanpa kepastian, ditambah aku yang nggak pernah tahu sosial media dan segalanya untuk bisa mengakses kamu. Ara itu kayak hilang kontak."
"Aku sengaja,"
Distra mengerutkan keningnya. "Sengaja?"
Ara mengangguk. "Aku kira dengan kita nggak saling terhubung, aku bisa ngelupain kamu." Cicitnya sembari meremas Jas Distra dengan tangannya.
Tatapan pria dihadapan Ara sangat teduh, ia sedikit menundukkan badannya agar bisa sejajar dengan wajah perempuan yang di inginkannya selama ini. Wajah yang sering masuk kedalam mimpinya dan wajah yang sering terbayang ketika ia sedang sendiri.
"Aku kangen."
Ara yang tertunduk, menatap pria itu lekat-lekat. Hatinya bergetar.
"Aku kangen Ara-nya Distra."
Tiba-tiba Ara memeluk Distra dengan erat. Distra membalas pelukan itu dengan wajah yang sumringah. Rasanya, semua kerinduan mereka terbalas dengan pelukan ini. Pelukan yang dilakukan di tempat parkir mobil.
"Hikss..."
"Kamu nangis?"
Ara mengangguk. "Nggak usah lihat aku." Distra tertawa dan tetap dalam keadaan memeluk perempuan yang sedang dalam kondisi menangis dalam keadaan bahagia.
"Mau ke mobil nggak? Kayaknya kamu perlu perbaiki riasanmu." Ujar Distra memberi saran.
Ara mengangguk. Sepertinya ia harus memperbaiki lagi make up-nya walaupun yang di gunakan semua adalah water prof.
Di mobil, Distra memberikan Ara pouch make up milik Disya yang ia letakkan di mobilnya Distra. Ara menerimanya dengan senang hati dan kemudian merias sedikit di bagian pipi dan mata setelah itu selesai. Make up yang Ara pakai hari ini memang terlihat sangat natural karena tidak menggunakan fondition yang tebal dan tidak memakai eye sadow.

KAMU SEDANG MEMBACA
DISARA [COMPLETED]
Fiksi RemajaYANG NGGAK SUKA KEBUCINAN HARAP UNTUK TIDAK BACA! Distra menjadikan Ara pusat dunianya, dan Ara menjadikan Distra belahan jiwanya. Distra yang tak ingin melepaskan Ara, dan Ara yang tak ingin bergantung pada Distra. ini tentang Asmara Distra. -//- ...