Setelah melewati Ujian Praktik, sekarang sudah waktunya untuk Ujian Sekolah di hari pertama. Rasanya deg-deg-an tetapi rasanya juga begitu terharu sudah melewati tiga tahun bersama, walaupun masih simulasi sudah banyak murid-murid kelas 3 SMA menangis terharu bersama teman-temannya.Keinginan masih ingin bersekolah, memakai baju putih abu-abu, dan menikmati hari bersama teman-teman adalah hal yang sangat tidak ingin ditinggalkan, beda lagi dengan Ara, dia ingin segera lulus dan mendaftar di salah satu Universitas Yogyakarta. Dan satu hal lagi, Distra belum tahu Ara akan pindah ke Yogyakarta.
Masing-masing siswa duduk sendiri di setiap meja. Duduknya tidak secara acak-acakan, semua berdasarkan di atur dari nomor NISN. Ara berada di paling depan dan Distra berada di paling belakang.
Semua siswa memakai fasilitas yang diberikan dari sekolah yaitu menggunakan komputer. Siswa dan siswi juga tidak di perbolehkan membawa laptop karena sudah disediakan, makanya siswa disana tidak perlu repot-repot lagi, cukup membawa kartu tes simulasi US dan memiliki bekal otak yang cerdas semuanya akan berjalan lancar sesuai ekspetasi.
Simulasi US hanya tiga hari saja, kemudian minggu depannya sudah melakukan US yang sebenarnya. Untungnya juga simulasi hari pertama ini di awasi oleh Bu Mona dan bagian proktornya di awasi oleh pak Usman jadi ruangan tidak perlu tegang-tegang sekali.
"Tolong jangan ada yang bergerak dari tempat, Ibu mau ke depan dulu. Pak, minta tolong untuk awasi anak-anak ya." Kata Bu Mona lalu pamit keluar, guru itu ingin pergi ke dapur untuk membuat teh.
35 menit kemudian, Distra sudah menyelesaikan ujian simulasinya dengan gampang padahal proktor sekolah sudah menyiapkan waktu selama 60 menit tetapi Distra bisa menyelesaikan begitu cepat. Ara yang melihat itu langsung merasa insecure dengan otaknya.
"Padahal semalam aku belajar sampai jam sebelas malam sedangkan Distra cuman belajar sampai jam sembilan karena pengen nonton bola." Gumamnya sambil terus melihat punggung Distra yang semakin menjauh dan akhirnya hilang di balik pintu.
5 menit selanjutnya Ara baru selesai mengerjakan, ia langsung berjalan keluar dan mencari dimana keberadaan Distra. Cowok itu ternyata sudah berada di parkiran bersama Baskara. Ah, mengingat kejadian itu, aku rasanya pengen mati aja kalau liat muka Baskaraaa. Batin gadis itu.
"Kenapa kepala lo tunduk-tunduk gitu? Baru kali ini lo keliatan takut sama gue." Kata Baskara ketika Ara sudah berdiri di dekatnya.
Ara mengangkat kepalanya. "Bukan takut tapi malu!" Seruan itu membuat Distra dan Baskara sama-sama tertawa hanya karena mendengar Ara yang terlalu jujur kali ini.
"Kirain urat malu lo udah putus." Kata cowok itu lagi membuat Ara sebal sejadi-jadinya.
"Udah-udah. Ayo sekarang berangkat." Kali ini yang ngomong Distra.
Ara terdiam di tempat ketika dua cowok itu sudah bergegas-gegas ingin pergi. "Kita memang mau kemana?" Tanya Ara sembari memakai helm yang Distra berikan untuknya.
"Mau ke cafe Secangkir." Jawab Distra dan langsung di angguki oleh Ara. "Ayo buruan, sebelum hujan deras."
Ara buru-buru naik ke boncengan motor Vespa Distra lalu mereka sama-sama berangkat. Kalau Baskara sih sudah duluan berangkat, jiwa solidaritas Baskara memang tidak ada makanya ia main pergi saja tanpa pamit dulu.
Kalau naik motor waktu yang ditempuh untuk sampai ke cafe secangkir hanya 7 sampai 10 menit jika tidak macet tetapi jika naik metro mini bisa sampai 15 sampai 20 menit. Makanya karena tidak macet Distra dan Ara sudah sampai, didalam sana juga sudah ada Baskara yang sedang kebingungan mencari tempat duduk yang kosong.

KAMU SEDANG MEMBACA
DISARA [COMPLETED]
Fiksi RemajaYANG NGGAK SUKA KEBUCINAN HARAP UNTUK TIDAK BACA! Distra menjadikan Ara pusat dunianya, dan Ara menjadikan Distra belahan jiwanya. Distra yang tak ingin melepaskan Ara, dan Ara yang tak ingin bergantung pada Distra. ini tentang Asmara Distra. -//- ...