1

3.1K 196 22
                                    


Asmara Resta, tokoh utama dalam cerita ini, tokoh yang super duper kuat melewati berbagai masalah tanpa bimbingan orang tua. Asmara yang kerap di panggil Ara mulai melakukan aktivitas ke sekolah karena kurang lebih seminggu ia tidak menghadiri sekolah untuk menenangkan dirinya.

Walaupun di tinggal dengan sang ibunda Ara akan tetap kuat, saatnya ia tidak menunjukkan betapa lemah dirinya, dan ia juga tidak boleh membuat khawatir di sekelilingnya karena kondisinya saat ini. Setiap ingin menangis, Ara akan mengurung diri di kamar atau ia akan masuk ke kamar mandi sembari menyalakan shower agar tangisannya tak di dengar oleh siapa-siapa.

Namun, tetap saja dirinya masih terlihat rapuh di mata Distra Anjana. Sang sahabat yang sudah mengetahui seluruh kelakuan Ara jika tidak muncul di depan umum. Ya, menangis dengan sembunyi-sembunyi atau sedang menstruasi namun tidak membawa pembalut, si gadis akan bersembunyi di balik pintu kamar mandi hingga semua manusia-manusia tidak ada lagi.

Distra mulai memarkirkan vespa berwarna ungu pastel miliknya. Request dari Ara, katanya ungu sangat indah, melambangkan sebuah kemewahan jadi sebutut apa pun motor vespanya akan terlihat mewah.

"Aku bilang nggak usah nangis Ra, kalau kamu kayak gini terus, bunda juga di sana bakalan nangis liat kamu yang kayak gini. Bukan Asmara yang kami kenal, bukan Asmara yang kuat tahan banting lagi, tapi kamu mirip kayak piring hadiah detergen, sekali jatuh langsung hancur." Sepertinya Distra tahu kalau selama perjalanan Ara nangis terus.

"Aku nggak nangis Dis." Balas Ara sambil membulatkan matanya berusaha menunjukan tidak ada sebutir air mata yang tergenang di matanya.

"Seragamku basah karena tangisanmu. Puas?"

Ara akhirnya menghela nafas dengan gusar, tidak ada gunanya juga mengelak setiap apa yang dikatan Distra. Cowok itu paham sekali.

Saling memandang antara satu sama lain akhirnya Distra langsung menarik lengan gadis itu. Tenang, Distra bukan cowok kasar, ia menarik Ara dengan pelan tapi tetap saja membuat Ara terkejut karena kelakuan Distra yang sangat tiba-tiba.

Ketika sudah di koridoor sekolah, beberapa murid yang tak sengaja melihat Ara cuman memandang gadis itu dengan teduh, mungkin mereka tahu kalau gadis itu baru-baru kehilangan salah satu orang tua.

"Nggak usah fokus sama mereka, ayo terus jalan." Lagi-lagi Distra tahu kalau fokus Ara ke orang-orang yang memperhatikannya dengan wajah penuh kasihan.

Distra berjalan namun genggamannya ia lepas menjadi sebuah rangkulan. Rangkulan sahabat, dan penghuni sekolah memang sudah tahu kalau mereka cuman batas sahabat jadi nggak akan heran kalau lihat mereka begitu dekat seperti seorang saudara, dan Ara juga nggak risih jika Distra memperlakukannya seperti itu, karena Distra pernah bilang kalau rangkulannya bisa menguatkan dirinya, dan memang benar Ara seperti di tolong dari jurang permasalahan.

Sesampai di kelas, Ara dan Distra meletakkan tas dan sama-sama duduk. Iya, mereka berdua sebangku kebetulan kelas mereka cuman menampung 32 murid, 20 murid laki-laki dan selebihnya murid perempuan.

"Udah kerja PR, belum?" Tanya Distra sembari mengeluarkan buku tulis dengan sampul berwarna merah.

Ara cuman menganggukan kepala, kemudian Distra langsung mengelus kepala Ara. "Tumben rajin?"

"Memangnya cuman kamu yang boleh dapat nilai tinggi?" Tanya kembali Ara, dan Distra cuman tertawa kecil melihat kelakuan Ara yang jutek.

Bersyukur dalam hati Distra, akhirnya Ara sudah mulai kembali dengan dirinya sendiri walau tidak sepenuhnya. Ara sudah mulai jutek seperti yang awal, sudah mulai sinis dengan mata tajamnya, sudah mulai semangat untuk belajar walau cuman nyontek sama Distra, seenggaknya Ara-Nya Distra kembali ke awal. Kembali seperti manusia paling cuek dengan pelajaran.

DISARA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang