Bagian 12

2.3K 237 12
                                    


Kesabaran itu bermahkotakan keimanan.

Aku terkejut saat Ibu tiba-tiba membentakku dengan suara tinggi hanya karena tidak membantu Killa memasak di dapur, apa aku salah? Aku hanya bisa menunduk dan berusaha menyabarkan hatiku yang tersakiti secara bertubi-tubi, terlebih Ayah sedang seminar di Jakarta.

"Heh! Anak manja! Kamu mau hah teteh kamu dipermaluin nanti di hadapan semua orang?! Bisa gak sih, gak bikin saya marah terus sama kamu," bentak Ibu.

Aku mengangguk lesu, sekuat mungkin aku menahan air mataku agar tidak keluar dari pelupuk mataku.

"Kamu dengar saya?!"

Aku mengangguk lesu. "I-ya, Bu."

"Ya sudah, sekarang kamu bantuin teteh kamu di dapur, saya mau ke pengajian dulu." Setelah Ibu berlalu- aku berjalan pelan menuju dapur, di sana aku menemukan Killa dengan peralatan dapur yang cukup berantakan bahkan berceceran di lantai, sebegitu tak bisa kah?

Mata Killa menatap ke arahku, aku yang tak memakai cadar di dalam rumah pun hanya diam sambil membereskan peralatan dapur yang berceceran di mana-mana. Tiba-tiba saja tanganku tercengkal oleh Killa membuatku menghentikan aksiku.

"Kamu dimarahi Ibu lagi?" tanyanya.

Aku mengalihkan pandanganku lalu berusaha tersenyum sabar. "Bukan dimarahi, teh. Cuma dinasehati aja," alibiku padahal aku dimarahi sampai-sampai Ibu dengan nyaring membentakku.

"Jangan beralibi, Ill. Teteh tau, kamu dimarahi sama Ibu gara-gara kamu gak bantuin teteh, padahal kamu sedang banyak tugas. Maafin teteh ya? Keberadaan teteh memang selalu bikin kamu terus-terusan dimarahi Ibu, padahal kamu tuh gak salah, teteh yang salah karena gak bisa masak," ujarnya.

Aku kembali tersenyum, untuk apa aku harus balik memarahi Ibu atau Killa? Aku rasa, marah tak ada artinya, karena lebih baik aku diam dan bersabar atas ujian yang menimpaku.

"Apa teteh harus nge-kost? Biar kamu aman di rumah tanpa keberadaan teteh di sini?" lanjut Killa. Aku menggeleng, mana mungkin aku mengizinkan Killa untuk pindah rumah dan memilih nge-kost, itu akan menjadi amarah Ibu yang paling besar. "Jangan Teh. Teteh jangan ke mana-mana, Ibu bakalan marah Teh. Lagian Ayah gak bakalan izinin Teteh buat nge-kost. Aku yakin kok, cepat atau lambat, Ibu bakalan sayang sama aku," bujukku.

Killa mengelus kepalaku dan mengangguk. Setelah itu- kami mulai memasak untuk acara pertemuan pertama kali dengan keluarga Arhan--Pria yang akan mengkhitbah Killa-- setelah CV taaruf dikirimkan dan katanya mereka sama-sama menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Lalu, kapan aku seperti Killa?

Rasanya aku ingin menikah muda, membina rumah tangga sakinah, mawadah, waromah dan berjalan bersama ke Jannah- Nya.

.

Mataku tanpa sengaja melihat Vanessa sedang sendiri di bangku taman, wajahnya yang terlihat sedih membuatku berinisiatif untuk menghampirinya. Walau aku tak lama bersahabat dengan Vanessa. Namun, rasanya nyaman bersahabat dengan Vanessa yang selalu berhasil mengalihkan kesedihanku.

"Kamu kenapa, Ness?"

Matanya yang sembab membuatku langsung bertanya-tanya, apa ini ada sangkut pautnya dengan Agam?

"Agam Prill, Agam!" racaunya.

Aku menyentuh pundaknya yang bergetar menandakan kesedihan yang mendalam. "Agam kenapa? Dia baik-baik aja, 'kan?" tanyaku.

Vanessa menatap mataku dan menghambur ke pelukanku. "Agam kecelakaan dan koma, Prill. Gue gak nyangka, itu ternyata gara-gara gue, dia nyelametin gue, Prill. Gue bahkan sampe diusir saat gue mau jengukin dia," raung Vanessa.

Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang