Bagian 35

1.5K 180 5
                                    

Suara seseorang sedang melantunkan Al Qur-an menggema di telingaku. Remang-remang aku melihat Ali sedang terduduk dengan Al Qur-an berada di depannya. Selama dua tahun pernikahan, kami sama sekali belum memiliki momongan. Aku tahu, dia sangat menginginkannya, tetapi dia tak pernah mengatakannya padaku.

Aku melangkah pelan mendekati Ali. Satu tahun yang lalu, mami mengajakku untuk berobat ke Paris dan memperkenalkanku dengan salah satu dokter yang sangat terkenal di ahli saraf.

"Sadaqallahul adzim."

Sepertinya dia belum menyadari kehadiranku. Aku berpelan dan memeluk Ali dari belakang.

"Mas membangunkanmu ya?"

Aku menggeleng.

"Enggak. Malahan aku yang malah bikin Mas batal wudhunya." Aku memainkan perutnya yang sangat hangat. Ali tersenyum lalu mengecup keningku dengan lembut memberikan sensasi yang sangat berbeda untukku.

"Kamu makin kurus."

Aku mengulas senyum. Perkataan yang selalu Ali katakan padaku setiap saat, namun selalu ku jawab dengan :

"Nafsu makanku akhir-akhir ini menurun, Mas."

Tiba-tiba dia mencubit hidungku. "Illy, dari tahun kemarin kamu selalu jawab itu. Mas bahkan pernah mergokin kamu selalu sakit perut," balas Ali geram. Aku kembali memeluk Ali dan tersenyum sendu dibaliknya, "Aku, 'kan, udah bilang sama Mas, dari dulu aku punya penyakit asam lambung," tuturku.

Tiba-tiba dia memelukku dengan erat, tangannya masuk ke dalam perutku, suaranya terasa berat di telinga membuatku merasa ada yang aneh dengan Ali.

"Mas gak suka kamu berbohong, Illy!"

"Aku gak bohong, Mas."

"Kamu berubah."

"Gak semua manusia harus tetap sama, 'kan Mas?"

Aku melepas pelukannya, bertahun-tahun aku hidup dengannya, tahun ini permasalahan seringkali datang ke dalam rumah tangga kami, dia yang seringkali sabar menghadapi sikap kekanakanku atau disaat dia sedang hanya ingin kejujuran dariku.

Aku menyusut air mataku, kehilangan anak selalu menjadi  topik hangat selama dua tahun ini. Aku yang selalu memintanya untuk memaduku, tetapi dia tetap dengan pendiriannya.

"Zawjaty?"

"Ada dengan kamu?"

Aku menggeleng.

Dia meraih tanganku dan menciumnya. "Kalo ada yang salah, mari kita bicarakan, Illy. Bukan kayak gini. Pernikahan ini kita sama-sama jalanin, bukan kamu aja!' ujarnya tegas.

Aku kembali menggeleng lalu pergi meninggalkan Ali sendirian di dalam kamar kami. Anggap saja aku ini istri durhaka yang tak tahu malu, bahkan bersikap pada suamipun seperti itu. Langkahku berhenti saat merasakan ada yang mengalir dari hidungku. Senyuman penuh makna terbentur dari sudut bibirku, mimisan yang setahun belakangan ini menjadi teman hidupku, bahkan aku tak terkejut saat dia datang.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Beritahunya atau tidak," batinku. Jujur ini adalah pilihan tersulit untukku, terlebih aku tak ingin membuat Ali semakin menderita, aku menyusut darah dengan telapak tanganku dan berjalan ke kamar sebelah untuk menyembunyikan ini semua.

"Kamu pasti bahagia di sana bersama dia."

Aku mengusap baju kecil yang ku buat tahun lalu untuknya, walau dia pergi saat umurnya baru sebulan dalam kandungan tetapi aku selalu mengenalnya dengan pakaian kecil ini.

TOK TOK TOK

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang