Aku mengambil beberapa buku skripsi dan membawanya keluar kamar. Tentang seminar itu, aku menolaknya karena aku rasa aku tak mau terus-menerus harus dekat dengan dosenku itu. Terlebih tak baik untuk kesehatan jantungku yang selalu berdebar-debar setiap kali dia berada didekatku.
Suasana yang tak aku sukai, tak ada kehangatan saat aku duduk semeja dengan mereka yang sama-sama diam akibat kejadian tadi malam.
Aku melirik Ayah yang tersenyum ke arahku, aku mengangguk sambil membalas senyumannya.
Sedangkan disampingku, aku melihat Killa yang terlihat sangat murung dari biasanya, bukan Killa yang aku kenal sebelumnya.
Dari malam kemarin, Ayah terus menanyakan siapa laki-laki itu pada Killa. Namun, Killa seakan-akan melupakan sosok laki-laki yang dia cintai. Padahal niat Ayah hanya ingin mengetahui siapa laki-laki yang Killa cintai hingga berani menolak khitbah Arhan.
Bahkan aku tak sanggup saat mereka menatap kami dengan raut kecewa. Keputusan Killa memang membuat luka di hati keluarga Arhan tumbuh pada keluarga kami. Bahkan aku sangat mengingat sekali, saat Arhan terang-terangan ingin tetap mengkhitbah Killa walau Killa mencintai orang lain, karena katanya cinta akan datang jika terbiasa.
Arhan memang begitu tulus mencintai Killa. Namun, Killa malah menolaknya.
"Killa, ayah tanya lagi sama kamu, siapa laki-laki yang kamu cintai itu?" tanya Ayah tiba-tiba.
Aku melirik ke arah Killa yang menunduk lesu, kenapa sulit menjawabnya Teh? Aku memakan makananku yang terasa hambar.
"Kenapa Ayah harus tau?"
PRAK
Aku terhenyak saat Ayah membanting sendok pada piring hingga memantukan suara yang begitu nyaring. Kemarahan Ayah memang tak main-main, seorang yang sabar pun pasti mempunyai batas kesabarannya
"Ayah selalu turutin kemauan kamu, Killa. Dan kamu malah membuat ayah malu di hadapan keluarga mereka. Mau kamu apa? Kamu menikah menikah sama laki-laki yang kamu cintai itu?" tutur Ayah tegas.
Aku melirik Ibu yang sama sekali tidak bersuara, apa di saat seperti ini Ibu malah diam membiarkan Killa terus-menerus dimarahi oleh Ayah.
"Mencintai bukan berarti harus memiliki, Yah. Aku pamit ke kamar, assalamualaikum," pamit Killa dan berlalu dari hadapan kami.
Aku meneguk air putihku sampai tandas, benar-benar pagi yang sangat kacau. Aku bahkan melihat beberapa kali Ibu mengusap air matanya yang jatuh dan aku sangat ingin memeluknya dan berkata padanya. "Ibu jangan sedih." Namun, tentu saja aku tak berani untuk mengatakannya pada Ibu.
"Jangan terlalu memanjakan Killa," ujar Ayah tiba-tiba.
"Aku sangat wajar jika memanjakan Killa," balas Ibu.
Tak ingin melihat perdebatan ini, aku segera berpamitan pada Ayah dan Ibu untuk segera ke kampus terlebih waktunya semakin terkuras.
"Assalamualaikum."
"Astagfirullah!"
Jantungku semakin berdetak kencang saat melihat Alex berada di depan rumah keluarga kami. Dan untuk apa Alex mengucapkan salam? Bukankah dia non-muslim? Aku semakin tak mengerti dengan tingkahnya yang semakin hari semakin membuatku bertanya-tanya.
"Hehehe, maaf udah bikin lo kaget. Gue cuma mau nawarin tumpangan sama lo. Lo mau bareng sama gue?" tawarnya.
Jelas saja pasti aku menolaknya.
"Kamu?"
Aku menoleh ke belakang dan kaget melihat Ayah berdiri di belakangku dengan rahang yang terlihat mengeras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]
General FictionSebuah perjalanan religi Aprillya Anzani seorang gadis bercadar yang memilih meneruskan pendidikannya ke Universitas ternama di Bandung dan demi orang tuanya. Seorang gadis yang kuat menahan semua permasalahan di hidupnya. Gadis yang kuat, di saat k...