Suasana Rumah yang sangat hangat dan ramai. Semuanya lengkap dengan gelap tawa mereka, sesekali aku menimpal, rasanya sungkan untuk seperti dulu lagi. Makananpun terasa sangat hambar, walaupun kata mereka makanan ini sangat lezat. Sesekali aku melirik Ali yang asik menggoda Vanessa yang katanya sudah mempunyai gebetan baru dan melupakan Agam.
"Makanannya di makan, zawjaty."
Aku tersenyum tipis dibalik cadarku. Walau mereka selalu berusaha membuatku kembali ceria seperti awal, tetapi sangat susah aku jalankan dengan tulus, bersikap seolah-olah tak ada kejadian apapun yang pernah terjadi sebelumnya.
"Prilly, nanti sama mami aja ya kemotherapi nya?" tawar mami padaku. Aku mengangguk, sikap mami memang selalu baik padaku, dia menyayangiku seperti dia menyayangi anak-anaknya.
Hari ini aku mempunyai jadwal kemoterapi kakiku. Semoga perjuanganku untuk sediakala bisa terwujud, terlebih aku ingin membuktikan kepada dunia, aku kuat bukan orang lemah lagi. Beruntung aku mempunyai keluarga yang selalu ada untukku dan suami yang selalu memberiku semangat agar tetap bertahan.
Dengan bantuan Vanessa, aku mengganti pakaianku sendiri. Rasanya cukup malu harus dibantu oleh Vanessa, tetapi bagaimana lagi, terlalu sulit untukku mengambil pakaian di dalam lemari yang tinggi.
Walau ada Ali, bisa-bisa dia takkan habis menggantikanku pakaian, palingan dia akan terus-menerus menggodaku dengan sejuta gombalan yang ia punya.
Setelah selesai, aku bersama Vanessa keluar. Aku tersenyum melihat Ali sudah siap mengantarkanku bersama mami ke Rumah Sakit. Karena urusan di kampus cukup padat membuat Ali tak jadi menemaniku ke Rumah Sakit. Beruntung aku mempunyai mami yang sangat pengertian.
"Mi, jagain Illy, ya."
"Pasti dong."
Selama perjalanan, hanya ada ciutan dari Vanessa dan mami yang saling bercerita untuk liburan mereka ke Bali. Anak dan ibu yang sangat aku irikan, ingin sekali aku bertanya pada ayah, siapa sebenarnya ibuku? Siapa wanita yang sudah melahirkanku? Namun, rasanya sungkan untuk bertanya lagi pada ayah.
Bukannya tak mau berbicara pada ayah, tetapi aku belum sanggup untuk berbicara langsung dengan beliau. Hati sudah memaafkan, tetapi hati susah untuk melakukannya.
Tak sadar, air mataku sudah luluh, jujur aku menginginkan kasih sayang seorang ibu yang tak pernah aku rasakan dari dulu. Bagaimana belaian tangan seorang ibu yang kata semua orang sangat menghangatkan, tetapi aku tak pernah merasakan belaian itu.
Hanya ada caci maki dari seseorang yang aku anggap ibu. Walau dia membenci keberadaanku, tetapi dia tetap ibu yang sudah membesarkanku, walaupun dengan cara yang salah.
Tak berapa lama, mobil yang kutumpangi sudah berada di depan Rumah Sakit. Dengan pelan-pelan Ali menggendongku turun dan meletakkannya di kursi roda.
Jujur saja, aku cukup takut melakukan kemoterapi yang katanya dapat memulihkan kondisiku lagi. Namun, efeknya cukup besar untukku.
Hatiku kembali tersayat, melihat dari kejauhan sepasang suami istri tengah memomong bayi mereka. Mungkin jika semua ini tidak terjadi, mungkin aku dan Ali akan seperti mereka, bahagia tanpa ada halangan apapun.
Elusan tangan membuatku tersadar dari lamunan. Senyuman hangat menyapaku, mami memelukku dari samping, seakan-akan memberiku kehangatan seorang ibu.
"Mantu mami jangan sedih-sedih ya? Kita lewati semuanya bersama-sama. Mami gak suka kamu sedih terus, Illy. Semangat ya? Kamu pasti sembuh seperti sedia kala," tutur mami tulus.
Walau kami berbeda keyakinan, namun mami selalu menyayangiku tanpa batasan apapun. Aku mengangguk. Pelukan mami yang hangat saja sudah seperti ini, bagaimana pelukan ibu kandungku. Jujur aku ingin sekali merasakan pelukan hangat seorang ibu yang tak pernah aku rasakan, dulu aku selalu merengek pada ibu agar memelukku sebentar saja, tetapi malah Killa yang mendapatkan semua itu.
Ternyata dibalik semua itu, ayah dan ibu menyembunyikan fakta pahit tentang asal usulku. Menyembunyikannya selama belasan tahun dan terbuka lebar membuat luka yang sangat dalam untukku.
Sepanjang koridor, mami terus bercerita tentang dunia bisnis yang tengah ia geluti sendiri. Semua itu tidak pernah lepas dari pantauan Ali sendiri, melihat mami yang single parent membuat Ali kadang selalu membantu pekerjaan beliau di sela-sela kesibukannya.
"Kamu mau tau gak cerita cinta mami sama Papinya Ali?"
Aku mendongak, rasanya penasaran. Namun, aku tak ingin membuat luka lama mami menganga lebar karena kepergian papi mertuaku.
"Emangnya boleh?" tanyaku pelan. Mami berdiri dan duduk dikursi tunggu. "Kisahnya bener-bener bikin mami gagal move on sama suami mami. Dulu mami itu pembangkang, gak suka diatur, karena mami korban broken home. Di sana mami selalu frustasi sampe-sampe pernah nyoba obat-obatan terlarang. Gak ada temen apapun sahabat yang bisa mami ajak curhat. Tak berapa lama, papinya Ali datang. Kami bertemu di pondok pesantren saat mami kabur dari kejaran papanya mami," ujar mami.
"Dia bantuin mami buat kabur dari papanya mami. Terus dikasih kamar buat tinggal sementara. Rasanya menemukan kehangatan saat melihat dengan jelas papinya Ali memberikan gamis untuk mami karena melihat penampilan mami yang jauh dari kata tertutup," sambung mami.
"Untuk pasien atas nama Aprillya Anzania, Dokter Rani sudah menunggu di ruangan." Kami sama-sama menoleh lalu mengangguk.
Jantungku terasa ingin jatuh melihat dari kejauhan ibu bersama Killa berada di hadapanku. Aku menunduk malu saat ibu meneliti semua tubuhku dengan mata sinisnya. Aku memang anak dari hubungan gelap ayahku, tetapi apa aku pantas mendapat prilaku yang kurang enak ini dari ibu?
"Sudah cacat, merepotkan orang lagi. Cih, harusnya anak haram sepertimu itu mati saja. Gak guna juga hidup di dunia," hina ibu.
Dadaku sesak mendengar hinaan beliau. Dia orang yang aku anggap sebagai ibu, tetapi dia adalah luka terbesarku selama ini.
"Jaga bicara Anda! Hanya karena masalah masa lalu. Anda berani menghina menantu saya yang tidak tau apa-apa. Seharusnya Anda rajin beribadah, bukannya rajin menghina orang!" cerca mami dengan nada ketus.
Aku menyentuh tangan mami agar tidak meneruskan perkataannya lagi.
"Suka-suka saya dong. Lagian ya masih sempurna anak saya dari pada anak haram itu. Lagian kenapa situ yang nyolot?"
Sudah cukup!
Kapan ibu akan menerimaku tanpa mempermasalahkan masalalu mereka? Jujur, aku selalu iri pada Killa yang mendapatkan apa yang aku mau selama ini tanpa harus mengemis perhatian pada ibu.
"Udah, Bu. Gak baik bicara kayak gitu. Gimanapun Illy adalah bagian dari keluarga kita. Seharusnya Ibu terima dia dengan baik, bukannya menghina Illy dan terus menyalahkan kehadirannya," kata Killa.
"Keluarga? Dia bukan keluarga kita!"
Hancur sudah semangatku melihat ibu sangat membenciku lebih dari apapun. Mataku menatap nanar pada punggung ibu dan Killa yang semakin menjauh. Elusan tangan dari mami membuatku langsung menoleh pada beliau.
"Mantu mami anak yang kuat. Jangan dengerin apa kata dia ya? Keep strong, sayang." Aku mengangguk lesu, lalu mami melanjutkan langkahnya menuju ruangan kemoterapi.
Semangatku mulai tak beraturan, beberapa kali dihantam beton, seakan-akan menyuruhku untuk berhenti bernapas. Aku memejam, merasakan sensasi yang teramat dalam pada pikiranku dan fisikku.
Perutku terasa terbelit-belit, reflek aku menyentuh tangan mami membuat beliau langsung menunduk padaku.
"Sa--kit!"
B E R S A M B U N G
.
Wahhhh---wahhh konflik apa lagii yaaa..
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]
General FictionSebuah perjalanan religi Aprillya Anzani seorang gadis bercadar yang memilih meneruskan pendidikannya ke Universitas ternama di Bandung dan demi orang tuanya. Seorang gadis yang kuat menahan semua permasalahan di hidupnya. Gadis yang kuat, di saat k...