Bagian 34

1.5K 174 18
                                    

"Istri aku harus banyak istirahat ya. Biar mas yang packing keperluan kita."

Aku mencibir perkataannya. Memangnya dia bisa mem-packing pakaian dengan rapi? Bahkan selama kami menikah, aku belum pernah melihat Ali memberesi pakaiannya sendiri. Satu kecupan mendarat di bibirku, bisa-bisanya dia mencuri start duluan. Aku tebak, pipiku langsung merona saat bibir ranum itu menciumku dengan lincah.

"Gak pernah berubah ternyata." Bukannya kembali memasukkan pakaian ke dalam koper. Ali malah berbaring samping memelukku dari samping. "Sono teuing." Aku meraup wajahnya karena gemas pada suamiku ini.

"Kita di sana gak lama, 'kan?"

"Cuma seminggu."

"Bukannya aku gak seneng, Mas. Tapi, kamu banyak tanggungjawab yang harus kamu penuhi dari kuliah, pesantren, terus perusahaan. Aku takut kamu down, Mas," tuturku pada Ali.

Rasanya aku tak ingin selalu merepotkan Ali. Bahkan aku terlalu membuatnya selalu repot.

Niatnya hari ini Ali mengajakku pergi berlibur berdua ke Villanya. Jujur saja aku senang saat dia mengajakku berlibur untuk menjernihkan pikiranku. Perlakuan yang begitu memuliakan seorang perempuan membuatku semakin jatuh pada pelukan Ali, bagaimana dia membantuku memilihkan pakaian, membantuku membersihkan diri dengan paksaan lembutnya.

Dia adalah pria kedua yang aku cintai setelah ayahku. Perlahan Ali menggendongku turun dari lantai dua, aahh-- rasanya aku malu melihat mami dan Vanessa tersenyum jahil.

"Kayak pengantin baru aja kalian ini." Lantas aku langsung menyembunyikan wajahku di leher Ali. "Auranya itu loh, Tan. Gemess banget deh. Jadi pengen aku tuh nikah," celetuk Vanessa.

"Udah kalian jangan godain istri Ali. Istri Ali malu katanya," balasnya. Benar-benar keluarga yang harmonis dan aku iri.

Mami dan Vanessa mengantarkanku ke depan, aku tersenyum lembut dibalik cadarku saat mami mengecup keningku pelan dan mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang. "Hati-hati di jalan, mantu kesayangan. Yang lama di sananya, biar berkembangbiak," ujar mami.

Mami ini ada-ada saja. Aku mengangguk dan salim pada mami. Aku sangat hafal sekali, mami sangat membutuhkan seorang cucu untuk menemani mami di masa tuanya.

Setelah semuanya selesai, Ali masuk ke dalam dan mengendarai mobilnya. Di dalam mobil hanya ada lagu Payung teduh - Akad yang berputar di dalam radio. Kami sama-sama larut dalam keheningan tanpa bersuara sama sekali.

"Zahra cantik ya, Mas."

Entah kenapa aku malah tiba-tiba membahas tentang Zahra, wanita muslim yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupanku.

"Cantikan istriku."

Tanpa berpikir panjang, aku langsung mencubit pinggang Ali. "Tapi, 'kan emang beneran cantikan Zahra dari pada aku. Aku burik gak bisa dandan sam-----"

"Walaupun banyak yang bisa dandan, yang cantik, mas tetep milih kamu sebagai istri mas, bukan yang lain. Stop, insecure. Mas gak suka, menurut mas kamu adalah wanita cantik luar dan dalam," sambung Ali.

Perlahan genggamanku melonggar. Aku menatap jalan Bandung yang basah akibat hujan tadi malam. Lagi-lagi keheningan menerpa kami, perkataan Ali semakin membuatku insecure pada Zahra.

"Lagian Zahra sebentar lagi akan menikah."

DEG

Pupil mataku melebar mendengar pernyataan tersebut. Kukira selama ini Zahra seorang wanita single tanpa ikatan selama ini, ternyata dugaanku salah.

Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang