Bagian 28

2.4K 289 30
                                    

Sebaik-baiknya kesabaran adalah saat engkau memilih diam padahal emosimu sedang meronta ingin didengarkan.

Sejak malam itu, aku benar-benar mendiamkan Ali. Aku cukup tahu jika Ali terlalu cemburu pada Alex yang terlalu pemberani, tetapi dia malah tidak memikirkan resiko yang akan dia terima selanjutnya.

Aku meletakkan kemeja koko putih dan celana kain hitamnya. Aku terduduk di ranjang, rasa kecewaku semakin menjadi saat dia hanya diam dan diam.

Ali hanya merayuku untuk tidak marah, padahal aku tidak marah, hanya saja kecewa.

Hari ini katanya Ali akan pergi ke pengajian untuk mengisi acara di sana. Rasanya aku tak mau jauh darinya, tetapi rasa kecewaku memenuhi semuanya.

Dia keluar dari kamar mandi, aku hanya menatapnya tanpa senyuman sama sekali. Dia berjalan ke arahku dengan handuk yang masih melekat.

"Masih marah."

Aku menggeleng. "Kecewa," jawabku.

"Bukan salah aku, sayang."

Aku memilih berjalan ke arah lemari dan mengambil kopiah untuk Ali. Lantas aku langsung keluar kamar dari pada harus mengungkit hal itu lagi.

Baru saja aku keluar kamar, mami sudah ada di depan kamarku. Di balik cadarku, aku tersenyum saat mami tersenyum padaku

"Kalian marahan?" tanya mami.

Aku menunduk dan tak menjawab pertanyaan dari mami. "Bukannya dalam agama islam, marahan itu gak baik? Bahkan sampe berhari-hari. Mami cuma mau nasehatin kamu, selesain semuanya dengan kepala dingin, bukan saling mendiamkan," nasehat mami.

Terbayang saat beberapa hari ini aku melihat wajah lesu Ali saat pulang ke Rumah, padahal sebelumnya aku tak pernah melihat wajah lesu itu.

"Iya, Mi. Terima-kasih nasehatnya."

"Sama-sama. Bantuin mami natain kue-kue yuk," ajak mami. Aku mengangguk lalu mengikuti langkah mami. "Eh, mami teliti kamu gendutan deh, apa perasaan mami doang ya?" ujar mami membuatku melebarkan mataku.

"Mungkin perasaan Mami aja."

"Iya kali."

Aku mengikuti langkah mami menuju dapur, badanku memang akhir-akhir ini gampang lelah bahkan hanya merapikan ranjang pun, aku langsung ingin tidur. Aku duduk bersama ART yang tengah membungkusi kue-kue ke dalam toples ukuran sedang.

Karena mami adalah pencinta kue kering, maka setiap hari sabtu mami sering membuat atau memesannya, aku juga sering membantu mami untuk membuat kue.

"Mi, Nessa kemana?" tanyaku.

Pagi ini aku tidak melihat keberadaan Vanessa yang terkadang selalu wara-wiri di depan kamar kami. "Dia lagi ada tugas katanya, makanya Nessa ngerem di kamarnya sendiri," jawab mami.

Aku manggut-manggut mengerti, mungkin tugas Vanessa semakin menumpuk karena terlalu larut dalam memikirkan Agam.

Aku terhenyak saat bibir lembab mengecup keningku, aku langsung menggigit bibirku saat mami dan ketiga ART itu malah tersenyum-senyum melihat tingkah Ali.

"Aku cari-cari. Eh, ternyata di sini."

Tangannya mengambil tanganku, membuat aku terpaksa harus menoleh padanya. "Ada apa, mas?"

"Ke Rumah ayah kamu yuk, beliau ajak kita makan bersama di Rumahnya, sambil bicarain pernikahan Teh Killa," ajak Ali.

"Sambil tenangin pikiran, sayang. Mami tau kamu butuh pikiran tenang kali ini," timpal mami.

Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang