Dekapan hangat membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menatap mata sendunya tanpa diiringi sebuah senyuman dariku. Malam yang dingin ini begitu menusukku, seakan-akan tengah menghukumku atas apa yang telah terjadi. Sapuan tangannya di pipiku membuatku terpejam dan seketika tangisanku kembali pecah saat mengingat buah hati kami telah pergi, sebelum kami menimangnya dengan kasih sayang.
Sungguh aku merasa bersalah pada Ali karena telah lalai dan membuatnya pergi. Ali selalu berusaha untuk membuatku tenang dengan kata-kata penyejuk. Namun, tetap saja, rasa bersedih atas kehilangan membuatku melupakan segalanya.
Malam ini, hujan turun mengiringi kesedihanku. Tentu semakin membuatku dirundung duka yang semakin membuat luka yang mendalam.
Aku kehilangan buah hatiku bersama Ali dan aku tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Kedua kakiku sudah divonis lumpuh oleh dokter, bahkan punggungku dinyatakan lumpuh, membuatku tak bisa berbuat apa-apa selain berdiam diri di atas ranjang dan kursi roda.
"Jangan menangis, sayang. Mas gak kuat liat kamu kayak gini," kata Ali.
Aku membuka mataku dan menatap Ali dengan air mata yang semakin menetes. Setiap kali aku melihat matanya, detik itu pun aku langsung merasa bersalah pada suamiku.
"Afwan, Mas. Aku--aku--" Ali menangkup kedua pipiku dan mengecup kedua mataku dengan lembut. "Kamu harus ikhlas. Ikhlas dalam hati dan pikiran. Mas gak tega liat kamu kayak gini terus, Illy. Kamu harus ikhlas, ikhlaskan dia, dia sudah berada di pelukan Allah swt," tutur Ali menenangkanku.
Apa aku sanggup?
Cobaan ini begitu bertubi-tubi. Entah apa yang akan Allah swt berikan padaku hingga mengirimiku sebuah cobaan yang aku sendiri sulit untukku hadapi.
Ali menggendongku, langkahnya terasa berat untuk melangkah. Dengan perlahan Ali membaringkanku di ranjang kamar kami. Dia terlihat lelah mengurusiku yang tak bisa apa-apa ini. Namun, Ali berusaha menyembunyikannya lewat senyuman palsunya.
"Mas ke bawah dulu, ambil laptop ke tinggal di bawah. Kamu tidur dulu, ya? Mas gak mau kamu kepikiran terus," kata Ali sambil menyibakkan selimutku.
Aku langsung menahan tangannya untuk tidak pergi. Sungguh aku membutuhkan pelukan saat ini, terlebih aku masih belum mengikhlaskan kepergiannya.
"Mas gak bakalan lama, sayang." Aku menggeleng. "Mas gak boleh pergi," ujarku melarangnya.
Namun, Ali malah tersenyum lalu melepaskan tanganku dari tangannya dengan lembut. Ali kembali duduk dan malah membaring miring sambil menatapku dengan pandangan geli.
"Asalkan kamu gak sedih lagi, mas bakalan nemenin kamu di sini." Dengan berat hati, aku mengangguk dari pada harus kesepian.
.
Suasana Taman yang sangat ramai oleh anak-anak. Vanessa mengajakku untuk berjalan-jalan di Taman komplek sedangkan Ali pagi-pagi buta telah ke Lembang untuk mengajar di Pesantren.
Suasana yang ramai tetap saja sepi menurutku, mereka terlalu mengingatkanku pada janinku. Aku hanya bisa menatap nanar pada sepasang suami istri yang tengah bermesraan dengan sang istri yang tengah mengandung, sungguh aku iri pada mereka.
"Gue ajak lo ke sini buat seneng-seneng, Prill. Bukannya malah sedih. Udah ya? Jangan sedih terus, gue gak tega," tutur Vanessa.
Aku mengusap tangan Vanessa. "Aku gak sedih kok, Ness. Kamu tenang aja." BOHONG! Bibir ini telah berbohong, nyatanya hatiku selalu teriris melihat anak-anak dan sepasang suami istri itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]
General FictionSebuah perjalanan religi Aprillya Anzani seorang gadis bercadar yang memilih meneruskan pendidikannya ke Universitas ternama di Bandung dan demi orang tuanya. Seorang gadis yang kuat menahan semua permasalahan di hidupnya. Gadis yang kuat, di saat k...