Aku memasukkan beberapa helai pakaianku dan pakaian Ali. Nanti malam kami akan take of ke Tarim, aku hanya mengiyakan semua perkataan Ali dari pada harus ribet sendiri mengurusnya. Untuk kuliah, kami memutuskan untuk libur sejenak sekitar tiga mingguan. Aku membayangkan berapa banyak tugas yang ku tinggalkan selama dua minggu di Negara Tarim. Setelah selesai- aku berjalan pelan ke arah Ali yang tengah berkutat dengan laptopnya.
"Mas?" panggilku pelan.
Dia menoleh dan tersenyum manis ke arahku. Aku membalas senyumnya dan memeluk lehernya dari belakang.
"Semua perlengkapan selama di sana udah beres, tinggal berangkatnya aja," kataku padanya. Ali mengambil tanganku dan memainkannya di sela-sela kesibukannya. "Nanti kita berangkat setelah Mami pulang. Katanya beliau mau anterin kita ke Bandara," ujarnya.
Padahal menurutku tak apa jika Mami tidak mengantarkan kami. Beliau pasti lelah telah seharian mengerjakan pekerjaan di kantor. Aku melirik layar laptop. "Mas, lagi ngerjain apa?" tanyaku heran.
Aneh saja menurutku, setelah adzan dhuhur, Ali belum selesai-selesai mengerjakan sesuatu yang sama sekali tidak aku mengerti. Lihat saja dia malah menjawabnya dengan senyuman menggodanya membuatku merasa ada yang tidak beres darinya.
"Tugas kampus. Nanti aku kirim ke email kamu. Soalnya tugas penting. Tenang aja, tugasnya bisa kamu kerjain di Tarim nanti, mas yang bakalan mandu kamu." Mataku terbelalak saat Ali mengatakan ada tugas. "Aku kira aku tetep diizinin, Mas. Ternyata ada tugas juga. Terus dikumpulinnya kapan?" tanyaku.
Ali membalikan posisinya ke arahku dan menatapku serius membuatku merasa ada yang tidak beres dengannya. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak membuatku mengerutkan keningku melihat tingkahnya.
"Maaf-maaf, mas becanda. Gak ada tugas kok, sayang. Mana mungkin mas bebanin kamu tugas selama di sana," guraunya. Aku merenggut kesal, suamiku ini benar-benar berhasil membuatku kesal. Aku memalingkan wajahnya.
"Ternyata kamu ambekan ya?"
Aku hanya diam saat dia memelukku erat bahkan segala menggeleng-gelengkan kepalanya di perutku. Ali mendongak sambil tersenyum ke arahku. "Jangan ngambek dong, sayang. Mas cuma becanda. Mas harus gimana biar kamu gak ngambek sama mas?" bujuknya.
Aku berusaha untuk menahan senyumku saat dia berusaha untuk membujukku. Ini hukuman buatku yang berhasil membuatku kesal karena ulahnya.
"Terserah."
"Jawabannya cewek banget." Ali berdiri membuatku mendongak menatap matanya. Tiba-tiba Ali mengangkat tubuhku membuatku langsung menjerit dan mengalungkan tanganku di lehernya.
"Mas...."
"Jurus ampuh buat istri mas biar gak ngambek." Ali merebahkan tubuhku di ranjang membuatku langsung menahan senyumku saat dia malah berbaring di sampingku dengan tangan yang memeluk tubuhku erat.
"Bidadari mas."
"Mas, udah aahh.. aku pengen ke dapur dulu. Bantuin Mbak Fia di dapur. Masa mas mau gini terus? Mas juga, 'kan punya kerjaan," kataku tak enak karena sudah mengganggu pekerjaannya.
Aku tersenyum melihat Ali memejamkan matanya dan tangan yang asik memeluk tubuhku dengan erat. Tanganku terangkat untuk mengelus rambutnya yang sangat klimis menurutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]
General FictionSebuah perjalanan religi Aprillya Anzani seorang gadis bercadar yang memilih meneruskan pendidikannya ke Universitas ternama di Bandung dan demi orang tuanya. Seorang gadis yang kuat menahan semua permasalahan di hidupnya. Gadis yang kuat, di saat k...