Aku memeluk tubuh Ayah yang seringkali membuat hatiku bergetar saat beliau memanggilku. "Putriku." Sebagai anak perempuan bungsu, aku sangat dekat dengan Ayah. Berbeda dengan Teh Killa yang lebih dekat dengan Ibu dari pada aku. Ayah mengecup pucuk kepalaku dengan lembut membuat air mataku turun.
"Selamat datang di rumah, Putri ayah."
Aku tersenyum lalu mengangguk. Aku menatap nanar pada Ibu yang sama sekali tidak mau memeluk aku, memang apa salahku selama ini? Padahal aku seringkali membantunya banyak sebelum aku pergi ke Pesantren.
"Prilly, ambil koper Teteh kamu ke kamarnya," titahnya padaku. Aku hanya mengangguk dan mengambil koper Teh Killa. Namun, tangan Ayah mencegah tangan ku saat ingin mengangkat gagang koper.
"Sudah biar ayah aja. Sana kamu pasti capek. Ibu kamu juga udah masak banyak." Aku tersenyum dibalik cadarku, masakan Ibu adalah hal yang aku nantikan selama ini, karena Ibu jarang sekali mengirimi aku makanannya ke pesantren.
Pemandangan yang sangat membuatku ingin memeluk Ibu, bagaimana tidak? Teh Killa dan juga Ibu sedang bersuap-suapan seperti menyalurkan kasih sayang mereka. Rasanya aku ingin menjadi Teh Killa yang seringkali Ibu banggakan pada semua orang tanpa menyebutkan aku sebagai anaknya.
Namun, aku harus tabah. Aku berharap, di dalam hati Ibu, Ibu pasti menyayangiku karena aku anaknya.
"Ngapain kamu di sana? Ke kamar sana. Terus, nanti ayah kamu ada yang pengen dia omongin sama kamu," kata Ibu ketus. Aku mengangguk lalu berlalu dari hadapan Ibu dan Teh Killa yang tersenyum sungkan padaku.
Aku menyapu pandanganku pada kamar yang selama beberapa tahun telah aku tinggali. Rasanya masih sama seperti dulu aku merengek pada Ayah untuk mengizinkan aku tidur sendirian. Aku melepaskan cadarku dan berjalan ke arah cermin besar yang tertempel di dinding kamarku
"Chubby," batinku.
Dari dulu aku memang tembem, seperti Ayah dan kulitku seperti kulit Ibu yang putih bagai kulit bayi. Rasanya aku ingin meluapkan bahagiaku saat ada bagian tubuhku yang menyerupai Ibu. Aku menghapus air mataku, semua itu adalah masa lalu dan untuk apa aku mengingat kenangan kelam itu.
"Ayah mau bicara apa, ya?" tanyaku pada diriku sendiri. Ingin sekali aku menemui beliau sekarang. Namun, mungkin Ayah sedang kelelahan akibat menjemputku dan Teh Killa.
Aku mematung saat bayang-bayang Ustadz Ali hinggap di ingatanku, kenapa aku harus memikirkannya? Aku menggelengkan kepalaku saat bayangan ia sedang tersenyum ke arahku hinggap di kepakaku. Apa yang telah aku lakukan?
Seberusaha mungkin aku menyingkirkan bayangan itu, untuk apa aku harus memikirkannya. Lebih baik aku merenungkan nasibku setelah ini, apa aku harus bekerja atau hanya berdiam diri menyusahkan kedua orang tua ku, tetapi rasanya aku tak mau terus-menerus menyusahkan mereka yang telah membesarkan ku sampai 18 tahun seperti ini.
TOK TOK TOK
"Assalamualaikum."
Aku berdiri saat Ayah membuka pintu kamarku dengan senyuman hangatnya. "Waalaikumsalam," balasku.
Ayah berduduk di sisi ranjang bersamaku, aku merasa ada yang aneh dengan Ayah yang terlalu banyak diam saat sedang dalam kebingungan, sepertinya.
"Ada apa, Yah?"
"Ayah udah mikirin ini beberapa tahun lalu dan ngumpulin uang buat kamu. Apa kamu mau?"
Ngumpulin uang, maksudnya? Aku benar-benar tak mengerti yang Ayah katakan padaku. Apa maksudnya coba dan untuk apa Ayah mengumpulkan uang untukku. "Maksud Ayah apa?" tanyaku karena tak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]
General FictionSebuah perjalanan religi Aprillya Anzani seorang gadis bercadar yang memilih meneruskan pendidikannya ke Universitas ternama di Bandung dan demi orang tuanya. Seorang gadis yang kuat menahan semua permasalahan di hidupnya. Gadis yang kuat, di saat k...