Rasulullah SAW mempunyai seekor kucing kesayangan bernama Mueeza. Salah satu sifat Mueeza yang paling Rasulullah SAW suka ialah, Mueeza selalu mengiaw sewaktu mendengar adzan.
"Miaw, miaw."
Aku mengedarkan pandanganku saat mendengar suara kucing mengiaw, di mana? Padahal di halte tempatku duduk tak ada kucing sama sekali yang aku lihat, apa aku salah mendengar?
"Meong, meong."
"Iya-iya pada sabar napa."
Aku semakin penasaran dengan suara itu, aku berjalan ke arah rumput yang terpangkas dengan rapih. Aku sedikit tertegun saat menemukan Alex tengah duduk di bahu jalan bersama satu kucing yang aku perkirakan itu adalah kucing jalanan. Alex sepertinya tidak menyadari keberadaanku yang tak jauh dari tempatnya.
"Ternyata dia baik orangnya," batinku.
Aku tersenyum saat Alex memberi makanan yang terlihat masih baru pada si kucing. Aku menggeleng, jika Alex melihat ke arahku, pasti dia akan merasa kepedean saat aku melihatnya.
Dari pada ketahuan oleh Alex, lebih baik aku membalikan tubuhku. Namun-----
"ILLY."
Seseorang yang tengah mengganggu hatiku dengan nyaring memanggil Illy. Aku tebak, Alex pasti akan langsung melihat ke arahku.
"Pak Ali," gumamku.
Debaran itu semakin terasa saat beliau menghampiriku. Aku langsung menunduk malu saat aku melihat penampilannya yang selalu saja memancarkan pesonanya tersendiri.
Dengan memakai kemeja putih panjang yang dia masukan ke dalam celana kain yang berwarna biru tua, serta tak lupa membawa sebuah tas yang mungkin saja itu berisi materi-materi yang akan beliau sampaikan nanti.
"Ada apa, Pak?"
"Nanti kamu temenin Nessa, ya? Saya ada seminar bisnis di tempat lain. Kemungkinan saya tidak bisa menemani Nessa menjenguk Agam. Kamu bisa, 'kan?" tanyanya.
Langsung saja aku mengangguk sebagai jawabannya.
"April, lo nanti ada waktu?"
Kepalaku sedikit menoleh dan melihat Alex sedang berbicara padaku. Apa katanya? April? Kenapa harus April? Apa karena namaku Aprillya? Padahal aku tidak menyukai nama itu.
"Maaf saya sudah ada janji. Saya permisi, Pak. Alex. Assalamualaikum warrohmatullahi wabbarokatuh," pamitku.
Aku berjalan tanpa melihat ke arah belakang yang menyisakan Ali dan juga Alex. Aku sedikit mendengar sebuah percakapan dari belakangnya, selebihnya aku tak tahu apa yang tengah mereka bicarakan.
.
"Ibu, nanti keluarga Mas Arhan datang lagi?"
Langkahku terhenti saat mendengar Killa tengah berbincang bersama Ibu di ruang keluarga. "Iya. Mau bahas tanggal pernikahan katanya. 'Kan kemarin-kemarin mereka sibuk ngurusin acara khitbah," balas Ibu.
Aku berlalu dari hadapan mereka yang lagi-lagi aku diabaikan. Aku mengunci pintu kamarku dan melepaskan cadar yang menutupi sebagian wajahku.
Aku memang tak secantik Killa, tak sepintar Killa, atau tak seperti apa yang Killa punya, tetapi apa aku tak boleh merasakan kasih sayang dari ibu yang sering kali aku dambakan. Bahkan dari dulu Ayah selalu berbohong padaku, tentang Ibu yang sering kali menyukai sholawatku, nyatanya beliau sama sekali tidak menyukainya.
"Astagfirullah." Terlintas aku ingin keluar dari rumah ini, seperti aku berada di Pesantren yang selalu membuatku merasa tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]
General FictionSebuah perjalanan religi Aprillya Anzani seorang gadis bercadar yang memilih meneruskan pendidikannya ke Universitas ternama di Bandung dan demi orang tuanya. Seorang gadis yang kuat menahan semua permasalahan di hidupnya. Gadis yang kuat, di saat k...