Seminggu berada di Turki adalah hal yang sangat membahagiakan untukku, hampir semua keluarga ikut bersamaku untuk menemaniku berobat. Selang infus yang setia menancap ditanganku selalu saja membuatku terganggu, lantunan dzikir dari Ali selalu membuatku merasa tenang. Apa aku harus sakit dulu? Agar mereka selalu ada untukku.
Tanganku senantiasa digenggam oleh siapapun, tak ada yang sedetikpun melepaskannya. Para tim medis selalu menyemangatiku agar tetap semangat berjuang untuk sembuh.
Namun, senantiasa aku selalu ingin menyerah dengan takdir, aku ingin bertemu dengan anakku, bertemu dengan ibuku.
"Zawjaty."
Panggilan penuh kelembutan membuatku menoleh pada Ali. Dia datang dengan Al-Qur'an di dekapannya. Wajah lesunya terlihat sangat jelas, semua keperluanku ditanggung oleh Ali, semua yang seharusnya aku sendiri persiapkan selalu Ali yang lakukan. Tangannya membelai lembut pipi tirusku.
"Hari ini kita kemoterapi."
Kemoterapi yang kadang menyiksaku secara perlahan, merontokkan rambutku secara perlahan, bahkan kata dokterpun hanya lima puluh persen untuk sembuh dari penyakit ini.
"Aku takut."
"Ada mas yang bakalan dampingin kamu terus."
Aku cuma takut, di saat jiwaku sudah menghilang, Ali tak mendapat penggantiku, itulah yang aku takutkan. Melihat ketulusan yang begitu dalam dari matanya membuatku semakin yakin dia mencintaiku.
"Mas?"
"Iya sayang?"
"Menikah lagi ya?"
"Untuk itu, mas gak sanggup."
Air mataku kembali menetes untuk sekian kalinya. Tubuhku semakin kurus dimakan oleh penyakit yang semakin hari menggerogotiku, Ali yang sama sekali tidak mau menikah lagi membuatku semakin ingin menyerah.
"Menikah lagi ya Mas. Umurku sud---"
"Umur, rezeki, jodoh adalah kehendak Allah swt, sayang. Mas gak akan menikah lagi, kita udah bicarain semua ini baik-baik, Illy. Kita harus fokus penyembuhan kamu bukan meminta mas buat menikah lagi, itu adalah hal konyol yang lagi-lagi terlontar dimulut kamu," ujar Ali sedikit frustasi.
Ali mengecup lembut punggung tanganku. "Jangan berbicara seperti itu lagi, Illy. Mas benar-benar takut kehilangan bidadari seperti kamu," sambung Ali.
Aku membelai pipi Ali yang sedikit kurus. Maut adalah urusan Allah SWT sedangkan aku hanya bisa berserah diri pada-Nya, terlebih atas apa yang menimpaku. Terlalu banyak beban yang berada di pundak Ali, dia hanya pemuda biasa yang berusaha membuat keluarga kecilnya bahagia. Namun, aku tak ingin semakin membebani Ali dengan penyakitku ini.
"Mas sayang aku?"
"Anna uhhibuka fillah, zawjaty."
Dia mengecup keningnya lamat-lamat. Lagi-lagi setetes air mata turun meluncur melewati pipiku, aku terhenyak saat merasakan darah kembali mengalir dari hidungku. Ali yang melihatnya langsung mengambil tisu dan membantuku untuk membersihkan darah ini. Kami hanya sama-sama tak bersuara lagi, hanya suara monitor yang menjadi dominan di ruangan ini.
"Nanti kalo kamu sembuh, kita jalan-jalan ke cappadocia, tempat impian kamu," ujar Ali membuatku mendongak.
"In sya alloh."
Aku tak tahu dimana batas umurku kelak, tak ada yang tahu bukan? Semua orang hanya bisa berserah diri pada Yang Maha Kawasa.
Dengan telaten Ali memberiku air minum, dia begitu menjagaku dengan baik dan seharusnya akulah yang merawat dan melayani Ali bukan dia yang merawatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]
General FictionSebuah perjalanan religi Aprillya Anzani seorang gadis bercadar yang memilih meneruskan pendidikannya ke Universitas ternama di Bandung dan demi orang tuanya. Seorang gadis yang kuat menahan semua permasalahan di hidupnya. Gadis yang kuat, di saat k...