"Ada Zahra di depan."
Aku mendongak menatap mata lentik Ali yang mengatakan ada Zahra di depan. Aku tersenyum lalu mengangguk pada Ali yang tangannya asik membelai pipiku dengan lembut. Tatapannya tetap sama, saat kami memulai kehidupan baru. Senyuman itu tak pernah memudar sedikitpun membuatku merasa dia memang terbaik untukku.
"Aku sudah lama menunggunya, Mas."
Rasanya menyenangkan berteman dengan sosok Zahra yang sangat ramah dan paslah denganku, terlebih aku tak mempunyai teman dekat, kecuali Vanesssa.
"Assalamualaikum, Mbak Prilly." Zahra memeluk tubuhku saat kami saling bertatap muka. Ali membantuku mendorong kursi rodaku ke depan duduk berdua bersama Zahra. "Waalaikumsalam. Bagaimana kabar kamu, Ra?" jawabku sekaligus bertanya.
Zahra tersenyum. "Alhamdulilah, Mbak. Kabarku cukup baik."
Aku memandang Zahra dengan ketakjuban di mataku, Zahra benar-benar cantik dan anggun, walau tidak menutup sebagian wajahnya oleh cadar, tetapi Zahra mempunyai daya tarik tersendiri. Kata Ali sendiri, Zahra kini menjadi incaran para santri di Pondok Pesantren.
Terlalu asik mengobrol bersama Zahra, aku sampai lupa dengan suamiku sendiri yang sejak tadi hanya menyimak percakapanku dengan Zahra. Dia tersenyum, lalu mengangguk padaku.
"Mas ke kamar dulu, ya? Kalian lanjutkan aja obrol simpang siur kalian," ucap Ali.
Setelah dia pergi, kami mulai melanjutkan percakapan kami yang sempat terhenti. Zahra memang tipikal orang yang gampang akrab menurutku, padahal kami baru beberapa kali bertemu, tetapi lihatlah, kami seperti orang yang sudah kenal lama. Andai saat itu Zahra lebih dulu mondok bersamaku, mungkin kami akan menjadi sahabat.
"Udah jam empat sore, Mbak. Gak enak sama tetangga. Lagian aku mau langsung pulang ke Rumah," kata Zahra mengakhiri percakapan kami. "Loh, gak pulang ke pesantren?" tanyaku heran.
Zahra menggeleng, "Mau pulang dulu, Mbak. Rindu Mamah, heheh," balas Zahra.
Ingin sekali aku mengantarkan Zahra ke depan. Namun, sendi-sendi tanganku terasa linu saat berusaha untuk menjalankan kursi roda. Di ruang tamu, aku sendirian. Mama dan papa sama sekali belum pulang dari kantor mereka, sama halnya dengan tante dan om, mereka sama saja.
Otakku berputar, mengingat hal yang membuatku lagi-lagi rapuh. Aku mengelus pelan perut rataku, rasanya baru kemarin aku mengatakan aku hamil pada Ali. Namun, sekarang aku malah kehilangannya.
Semua itu adalah kesalahan aku. Aku terlalu egois hanya mementingkan diri sendiri, bahkan saat itu aku sampai lupa, aku sedang mengandung anakku. Rasanya tak kuasa melihat wajah kecewa dari Ali, walau dia hanya menutupinya dengan senyuman palsu.
Jujur saja, aku cukup iri melihat Zahra yang terlihat sangat sempurna melebihi manusia bodoh sepertiku.
"Heii."
Buru-buru aku menghapus air mataku saat Ali tiba-tiba datang. Dia langsung berjongkok di depanku dengan raut khawatirnya. "Kamu kenapa? Bicara sama mas? Ada yang sakit?" tanyanya khawatir.
Melihat ketulusannya, semakin membuatku membenci diriku sendiri. Manusia bodoh seperti aku takkan pernah cocok bersanding dengan pria sholeh seperti Ali, suamiku.
"Mas?"
"Iya, zawjati?"
"Kenapa Mas gak lepasin aku? Mas bisa cari wanita yang lebih dari aku, Mas. Fisik aku cacat, aku mungkin gak bisa hamil lagi, Mas. Aku rasa, aku gak pantes buat kamu, Mas," tuturku terus terang.
Bagaimana bisa aku semakin mematahkan rasa semangatnya melihatku kemungkinan tidak bisa hamil lagi, dia terlihat menginginkan seorang anak hadir di antara kami dan aku hanya takut Ali akan semakin kecewa karenaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Mas Dosen [SELESAI]
General FictionSebuah perjalanan religi Aprillya Anzani seorang gadis bercadar yang memilih meneruskan pendidikannya ke Universitas ternama di Bandung dan demi orang tuanya. Seorang gadis yang kuat menahan semua permasalahan di hidupnya. Gadis yang kuat, di saat k...