Baru saja keluar dari kelas, Vanya merangkul sahabatnya— Ana, karena takut di ambil duluan oleh Devon. Ana yang tiba-tiba di rangkul sudah biasa dan hanya diam dengan wajah datar dan garangnya menoleh, menatap wajah Vanya dari samping yang senyum-senyum. "Ke salon yuk, Na? Kayaknya rambut gue perlu di warnai— warna biru gelap deh.." Vanya memainkan rambutnya dengan wajah suram.
Ana diam berpikir sejenak lalu tersenyum tipis. "Ayo!" Vanya tersenyum lebar dan menggiring Ana berjalan ke luar sekolah, berjalan ke arah parkiran mobil, untuk mengambil mobilnya Vanya. Tapi langkah kakinya berhenti saat Devon berteriak dari belakang dan tak henti-hentinya memanggil nama Ana.
Vanya memutarkan bola matanya. Hancur sudah seleranya untuk pergi ke salon kalau musti ada Devon yang selalu menempel seperti benalu kepada Ana. Devon menghampiri mereka berdua dengan napas naik turun, memandang Ana. "Gak balik bareng gue?" Tanya Devon, melirik Vanya sekilas, lalu fokus kepada Ana lagi.
Ana menoleh menatap Vanya dan Devon bergantian, lalu menghela nafas kecil. "Gue mau ke salon sama Vanya, lo bukannya ada basket?" Ana balik bertanya kepada Devon, membuat cowok tinggi itu tersenyum tipis menggeleng.
"Ini kan hari pertama masuk, ekskul belum masuk. Nanti lusa." Ujarnya menjelaskan, lalu melirik Vanya yang mengipasi wajahnya dengan sebelah telapak tangannya, merasa panas karena ada di antara mereka berdua.
"Duh Devon.. gantian dong, Ana sekarang sama gue. Tadi istirahat kan udah sama lo nya!" Tukas Vanya terang-terangan, membuat Ana memicingkan matanya mencibir, memangnya dia ini barang, harus gantian gantian?
Devon terkekeh kecil. "Santai aja, gue juga ada urusan sama Rafi. Gue cuman mau ngomong sama Ana." Balas Devon, lalu menatap Ana lagi. "Nanti kalau udah di rumah kabarin ya, gue mau ke rumah. Gue beli makanan kucing buat mbem." Ucap Devon membahas salah satu kucing hitam anggora kesayangannya Ana.
Ana mengangguk singkat. "Oke." Vanya kembali merangkul Ana dan berjalan menuju parkiran sambil melambaikan tangannya ke arah Devon yang memandang mereka dengan senyuman tipisnya.
Devon menatap punggung dua gadis itu yang semakin menjauh dan masuk ke mobil merah milik Vanya. Cowok tinggi itu memudarkan senyum tipisnya lalu membenarkan satu tali tas yang dia gendong dengan sebelah tangan, dan berbalik badan menuju motor sport hitamnya.
Vanya memakai selt belt nya setelah duduk menutup pintu mobilnya, begitu pula Ana. Vanya menyalakan mobilnya dengan kunci mobilnya, sedangkan Ana sudah duduk manis di sebelah temannya sambil memainkan ponselnya sibuk sendiri.
Vanya mulai mengendarai mobilnya, memundurkan mobilnya dan berjalan ke luar area SMA Cendrawasih. Vanya melirik Ana yang masih sibuk meng-scroll Instagram. "Sahabat lo itu posesif banget sih anjir dari kelas 10." Vanya memecahkan suasana, membuat Ana mengangkat kepalanya dan tersenyum menyeringai.
"Bukan dari kelas 10, dari kecil!" Ralatnya, lalu memainkan ponselnya lagi. Vanya hanya terkekeh tak habis pikir, bisa-bisanya Ana yang jutek dan kasar kuat mempunyai sahabat kecil posesif dan bawel seperti Devon.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAPHALIS (End)
RandomIni tentang Anaphalis javanica si cewek kasar. namanya di ambil dari nama latin bunga Edelweis, bunga abadi yang terkenal di kalangan para pendaki gunung. bunganya terlihat anggun dan cantik, bahkan untuk memetiknya saja tak boleh. tapi nama dan si...