Kayaknya bakalan sehari beberapa bab, soalnya pengen langsung end:)
Happy reading!!
*****
Ana keluar dari mobil merah milik Vina yang sudah terparkir di depan rumahnya. Cewek berambut bergelombang itu berjalan menuju dalam rumahnya, tapi sang kakak tiba-tiba memanggilnya.
"Ana!"
Ana berhenti dari langkahnya dan menoleh, Vina berjalan menghampiri Ana dengan senyum miris. "Mau makan apa? Kakak yang masak." Ucapnya sambil merangkul sang adik sambil berjalan memasuki rumah megahnya.
Ana merasa ada yang beda dengan kakaknya sekarang. Sangat beda.
Dari mulai tadi saat pulang dari rumah sakit, Vina selalu tersenyum tidak jelas di depan Ana, lalu beberapa kali menggenggam tangannya, lalu sekarang. Vina mau capek masak makanan kesukaan Ana.
"Bibi masak banyak padahal.." Lirih bi Sutah saat di dapur kepada kak Vina.
Vina tersenyum simpul. "Makasih ya bi, makanan yang itu buat bibi sama yang lain aja. Ana sama aku makan masakan aku."
Mata bi Sutah berbinar, "beneran non? Waduh.. Makasih ya.."
Vina mengangguk sambil berjalan menuju meja makan, membawa nampan. Sudah ada Ana yang sedang menarik piringnya.
Vina mentata makanannya lalu menaruh pasta cukup banyak di atas piring milik Ana, membuat cewek itu mengangkat kepalanya. "Kak.. Gue bisa ambil sendiri.." Keluhnya, karena merasa diperlakukan seperti anak kecil.
"Udah si gak papa.. Makan yang banyak." Ucap Vina sambil menarik piringnya.
Ana tidak banyak bicara lagi, dia langsung melahap sesendok pasta ke mulut nya. Tapi dia berhenti berkunyah lalu menatap kakaknya yang sedang makan dengan wajah lesuh.
"Kak,"
Vina melirik Ana. "Hm?"
"Tadi Devon pulang duluan, kok gak pamit dulu ke gue?"
Vina diam sesaat dari sela kunyahannya. "Iya, katanya buru-buru."
Ana mengangguk singkat, lalu diam lagi. "Kak, papih gimana?"
Vina membungkam, dadanya rasanya sesak. Tapi dia harus kuat menghadapi semuanya. "Masih koma, kita do'ain aja yang terbaik buat papih. Lo juga," Ucapnya berusaha kuat.
"Kenapa?"
"Jaga diri, jangan sampe sakit kayak tadi."
Ana tersenyum kecut sambil memotong pastanya. "Gue emang udah sakit, kali."
Vina berhenti mengunyah.
Ana mengangkat alisnya. "Gue kira lo tau." Celetuk Ana dengan senyum masam. "Ternyata cuman gue sama Tuhan yang tau ya."
Mata Vina berkaca-kaca, tidak kuat menahan air mata. Merasa gagal menjadi seorang kakak untuk Ana. "kenapa gak bilang dari awal sih kalau lo punya kanker?"
Ana tersenyum kecut. "Maaf, gue cuman—"
"Cuman apa?" Potong Vina cepat. "lo masih punya keluarga, Na. Gue ngerasa gagal tau gak jadi kakak lo, bahkan gue aja gak tau lo punya kanker. Jahat ya lo!"
Ana terisak. "Marahin aja gue," Getirnya. "Gue pantes di marahin." Vina langsung membungkam.
Ingin sekali memarahi adiknya soal penyakitnya. Tapi itu tidak perlu, karena Ana sedang berjuang melawan penyakitnya sekarang.
"Maaf." Ana mengangkat kepalanya menatap sang kakak. "Gue minta maaf, gue emang kakak yang bodoh. Gak tau kalau adiknya menderita." Getir Vina.
"lo gak salah, kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAPHALIS (End)
RandomIni tentang Anaphalis javanica si cewek kasar. namanya di ambil dari nama latin bunga Edelweis, bunga abadi yang terkenal di kalangan para pendaki gunung. bunganya terlihat anggun dan cantik, bahkan untuk memetiknya saja tak boleh. tapi nama dan si...