INSIDEN ROOFTOP

586 61 8
                                    

"Namanya Andreas Mahaputra."

Geo melipat bibirnya, memalingkan wajahnya sambil mengusap wajahnya pelan.

Ana menyerngit. "Kenal?"

Geo mengangkat alisnya, tersenyum kaku. "Hm, kayak pernah denger namanya doang."

Ana mengepalkan tangannya, menatap Geo dengan rahang sedikit mengeras.

Ana menunduk lagi. "Dia janji sama gue, mau foto bunga edelweis waktu lagi pendakian buat gue." Jelas Ana mulai cerita, Geo memperhatikan wajah Ana dengan rasa sedikit sakit.

Geo menunduk menatap sepatu miliknya dengan sepatu Ana yang bersebelahan.

"Pokoknya kita harus bisa sampe puncak."

Geo menautkan alisnya. "Lo dari kemarin ngomongin puncak lagi, puncak lagi. Ada apa sih di puncak gunung? Heran." Komentar Geo panjang lebar sambil masih mengunyah cikinya, sampai ciki taronya muncrat kemana-mana.

Andreas terkekeh pelan, "gue. Mau liat bunga edelweis, bunga yang mekar 10 tahun sekali, nanti mau gue foto terus gue kirim ke cewek gue."

Geo terngaga. Menggeleng tak habis pikir. "Bener-bener bocah cinta nih anak, sekalian aja lo fotonya pake fotografer tuh, terus photoshoot jadiin poster. Bila perlu lo jadiin spanduk terus tempel di depan rumahnya." Geo menggeleng pelan, dia benar-benar sudah tak mengerti dengan jalan pikir sahabatnya ini setelah baru saja menembak cewek.

Andreas berdecih dan mengumpat untuk Geo. "Iri bilang rakyat!"

"Tapi.." Geo membuyarkan lamunannya begitu Ana bicara lagi. Mata Ana berkaca-kaca, "tapi, di saat gue nunggu dia. Ada kabar bahwa.. Dia meninggal dunia." Ana tidak kuasa menahan air matanya, dia menangis kecil, menunduk.

Geo mengusap pundak Ana prihatin. Bukan Ana saja yang merasakan kehilangan seorang Andreas, tapi dia juga. Apalagi Geo ada di lokasi kejadian saat Andreas terjatuh dari tebing.

Teriakan Andreas masih terbayang oleh Geo. Terbayang jelas.

"Dulu, nyokap gue ajak gue buat panjat tebing. Dia mau kasih tau gimana indahnya bunga edelweis, dan lo tau apa yang terjadi?" Ana menoleh menatap Geo dengan mata sembab. Geo diam tidak menjawab. "Nyokap gue meninggal, yo. Meninggal gara-gara jatuh dari tebing!"

Dada Geo mencelos begitu saja saat mendengarnya. Bisa di rasakan, Ana sangat terpukul dengan kepergian mamah juga pacarnya. Makanya Ana berubah menjadi cewek yang dingin dan kasar seperti waktu itu.

Padahal Geo tahu jika dulu, Ana adalah anak baik-baik.

Geo memainkan gitar, Herlan yang nyanyi, Fawaz yang beat box, dan Eka pukul pukul meja. Suasana di kantin jadi ramai karena nyanyian mereka, ada yang memperhatikan pentolan tersebut bertingkah, ada juga yang sama sekali tidak peduli.

Oh Tuhan..
Kucinta dia..
Ku sayang dia..
Rindu dia, inginkan dia..

"Eh eh!" Herlan berseru, berhenti bernyanyi membuat semuanya diam hendak memprotes. "Liat dah itu." Ucapnya menunjukan jarinya ke arah Ana dan beberapa anak cewek yang sedang mengumpul.

Geo menoleh ke belakang dengan dahi menyerngit.

Fawaz dan Eka memperhatikan mereka dengan serius. "Wah seru nih, perang!!"

"Lo." Potong Ana cepat, menatap Anita, Salsa dan anggota girl star yang lainnya dengan wajah dingin. "Ngapain sama mereka?"

Anita tertawa. "Emang kenapa? Hak kita kali mau sama siapa."

ANAPHALIS (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang