MASALAH BARU

626 62 8
                                    


Hi selamat saur bagi yang menjalankan^^

Jangan lupa vote, komen, share^^

****






Di rumah besar Ana hanya ada dirinya, beberapa asisten rumah, dan para satpamnya. Tidak ada papihnya, tidak ada kakaknya. Entah mengapa sekarang Ana merasakan jika dunianya sangat hampa tinggal di rumah yang besar, tapi tanpa satupun anggota keluarganya. Dulu, saat papihnya masih sehat dan hobi memperingati Ana—Ana sangatlah ingin hidup sendiri, tentram dan damai.

Harusnya sekarang dia senang bukan?

Ana duduk di sofa kamarnya yang menghadap jendela besar dengan jarak lumayan jauh dari sofa ke jendela, dia bisa melihat betapa indahnya pemandangan luar di malam hari. Dia baru lagi termenung sambil menatap rumah-rumah yang besar dan gedung-gedung yang tinggi dari jendela kamarnya. Biasanya Ana tak pernah membuang waktunya untuk melihat pemandangan dari kamar, dia pasti langsung mandi, tidur, atau nonton netflix jika pulang sekolah.

Salah satu alasan jika Ana jarang mendekati kaca besar di kamarnya dengan jarak begitu dekat adalah, dia masih trauma dengan kejadian satu tahun yang lalu.

Lagi nyaman termenung, tiba-tiba ponselnya berdering. Ana mengangkatnya, sudah bisa di tebak jika telfon itu dari Vanya.

"Halo."

"Hey, gue dapet kabar dari Devon tadi lo cabut, terus balik bareng dia. Iya?"

"He-em." Ana hanya bergumam, sifat dinginnya masih ada.

"Lo tadi cabut kemana sih? sumpah gue nyariin, gue mau tanya ke Anita sama Salsa, mereka udah balik duluan."

Dasar dua curut! Batin Ana, tak habis pikir dengan Anita dan Salsa. Bisa-bisanya dia membiarkan dirinya terkurung di perpustakaan bersama Geo. biarpun kuncinya tak ada, mereka tak ada cara lain kah, atau.. Berusaha?

"Woi. Hello?? Ana lo dengerin gue gak sih!"

"Denger."

"Bener-bener ya lo itu.." Terdengar dari seberang sana, Vanya menghela napas panjang. "Untung aja ada Devon yang rela nungguin di gerbang, lo tau gak sih, dia kayak anak ilang tau gak berdiri di depan pintu sambil jinjing tas lo. Coba kalau gak ada dia? Dia juga mohon mohon sama Pak Murad biar sekolah dia yang kunci."

Ana mengangkat satu alisnya. "Lo tau darimana?"

"Ya kan gue ada di situ, awalnya gue ikut nunggu lo, tapi duduk di cafe seberang. Lo nya kelamaan gue keburu di suruh balik sama nyokap."

"Ohh."

"Oh doang gitu? Gila sih.. Gue kasian sama Devon, keliatan banget dia sayang sama lo, na."

Ana diam lalu terkekeh sumbang. "Gak jelas lo."

"Dih, gue serius. Dari pertama kali gue kenal kalian berdua, gue kira kalian pacaran. Soalnya Devon nya romantis sih sama lo."

"Biasa aja, kita itu cuman sahabat, Nya.."

"Gak ada yang namanya sahabatan di antara cewek sama cowok tau gak. Pokoknya gue jamin, pasti Devon punya rasa sama lo. Bukan rasa pertemanan, tapi lebih."

"Apa sih, gak usah ngaco deh. Tadinya bahas apa, tiba-tiba ganti topik." Cibir Ana, sambil mengubah posisi duduknya menjadi berdiri dengan jarak agak jauh dari kaca besar di kamarnya, menatap gedung-gedung tinggi.

"Pokoknya denger dulu nih, lo anggap dia cuman sahabat kan? Bagi gue dia anggap lo adalah orang yang spesial. Gimana ya, masa iya dia gak baper temenan sama lo dari kecil sampe sekarang gak ada rasa lebih gitu? Kalau perasaan lo sih gak usah di tanya, soalnya hati lo keras, kayak batu."

ANAPHALIS (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang