Devon masuk dalam dalam rumah besarnya, menaruh tasnya di sofa dan langsung merebahkan tubuhnya di Safa besar keluarganya, melepaskan semua penatnya.
Nampak papahnya turun dari tangga, membuat Devon melirik ke atas lalu memutarkan bola matanya malas.
Sudah sampai bawah, Ari hendak menghampiri Devon tapi anaknya malah beranjak dari tempatnya, berjalan menuju atas membuat papahnya menatap sang anak dengan wajah serius. "Dari mana aja kamu baru pulang?"
Devon berhenti dari langkahnya, membalikan badannya menatap sang papah. "Kenapa lagi pah?" Tanyanya dengan nada pasrah, Devon sudah lelah dengan semuanya.
"Kamu gagal masuk final?"
Devon diam, hanya menatap objek lain dengan helaan napas kecil.
"Jawab Devon!" Ari menarik urat, berjalan mendekati sang putranya. Devon menatap papahnya dengan wajah agak tajam. "Iya—"
"Kamu itu bodoh Devon! Masuk final aja gak bisa?!"
"Pah—"
"Apa kata orang-orang kalau anak seorang kepala sekolah gak bisa bikin bangga sekolahnya, apa kata orang-orang Devon!"
"Devon gak pernah minta papah jadi kepala sekolah!"
Plak!
Wajah Devon mendadak berpaling karena di tampar sangat kencang oleh sang papahnya. Cowok itu meraba pipinya yang merah, menatap papahnya dengan wajah tak habis pikir.
Ari menatap anaknya dengan mata tajam, hampir keluar. "Ingat ya, papah juga gak pernah mau punya anak gak berguna seperti kamu! Kamu cuman malu-maluin keluarga ini, apa susahnya jadi yang terbaik, berotak pintar, hah?!" Devon tersentak dengan semua ucapan papahnya. Semua itu terasa menyakitkan, semua perjuangannya ternyata hanya untuk membuat nama papahnya semakin terpandang.
"Devon di mata papah apa? Alat?" Getirnya dengan wajah menahan emosi. Ari diam sejenak, cukup membungkam.
"Iya pah? Devon jadiin alat, biar orang-orang tau kalau papah itu kepala sekolah yang bijaksana, seolah-olah kepala sekolah satu ini mendidik anaknya dengan baik." Napas Devon memburu, cowok itu menyipitkan matanya menggeleng pelan. "Padahal gak sama sekali!"
"DEVON!"
Devon berbalik badan, berjalan menuju tangga tanpa mempedulikan teriakan papahnya.
"BERANI KURANG AJAR SEKARANG KAMU? CONTOH AGIL, BISA GAK HIDUP KAYAK DIA? LEBIH BERGUNA!"
langkah Devon berhenti dengan tangan mengepal, lalu menolehkan kepalanya ke belakang. "Devon bukan Agil yang mau di peralat sama papah kandungnya sendiri!"
Devon melanjutkan langkahnya lagi, membuat sang papah semakin geram. "PERGI AJA KAMU, TINGGAL DI JALANAN SANA!"
Devon memejamkan matanya sekilas, tetap berjalan menuju kamarnya. Sudah ada sang adik yang sepertinya mendengar semua perdebatan antara kakak dan papahnya. Agil hanya menatap kakaknya dingin, lalu berbalik badan berjalan menuju kamarnya. Devon mendengus pelan, masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan sakit.
****
Geo memarkirkan motornya di parkiran kosannya, lalu berjalan menuju kost-kostan sambil memutar-mutarkan gantungan kunci motornya.
Wajah Geo mendadak berubah saat melihat ibunya duduk di teras kost-annya sambil memeluk tubuhnya yang di balut jaket.
"Mamah?"
Yang di panggil langsung menoleh ke belakang, menatap putra sulungnya.
Geo berjalan mendekati sang mamah, "mamah kok gak bilang dulu mau kesini? Kalau gitu Geo pulangnya cepet." Ucapnya yang di balas gelengan kepala dan senyum tipis dari mamahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAPHALIS (End)
RandomIni tentang Anaphalis javanica si cewek kasar. namanya di ambil dari nama latin bunga Edelweis, bunga abadi yang terkenal di kalangan para pendaki gunung. bunganya terlihat anggun dan cantik, bahkan untuk memetiknya saja tak boleh. tapi nama dan si...