IBU DAHLIA

543 61 9
                                    

"Tadi di rumah sakit, lo bisa kasih tau ke gue, kalau gue kenapa?" Ana menyerngit.

Vina menatap Ana kosong. Tak ada harapan.

"Kak, please..."

Vina mengigit bibir bawahnya tak kuasa. "l- lo.. Kan-.. Kanker otak stadium 4, dek.."

Ana tertegun, diam membungkam. Menatap pasta yang baru beberapa sendok dia makan. Ana sudah tidak ada selera makan lagi.

Ana tersenyum kecut. "Cuman lo yang tau kah, kak?" Vina menggeleng kaku.

"Devon.."

Ana tersentak.

"Devon tau semuanya."

Cewek berambut bergelombang dengan kaos oversize abu-abu itu langsung berdiri dari duduknya, membuat Vina mendongkak. "Kak, gue mau pergi dulu sebentar."

"Dek, tapi.."

"Please kak."

****

"Gue suka sama Geo."

Dada Devon seperti di tusuk tusuk oleh beberapa pisau tajam. Rasanya sakit sekali duluan mengetahui pernyataan tersebut.

"Tolong rahasiain ini sama dia, gue gak mau buat dia marah di sisa hidup gue, please.."

Devon menunduk sekilas, lalu mendongkak menatap Ana dengan senyum getir. "Iya."

"Gue gak akan bilang sama Geo."

"Makasih Dev, lo sahabat terbaik gue."

Devon tersenyum samar. Andai saja Ana tahu, jika cinta pertamanya adalah dia.

"Na, gue boleh tanya sesuatu gak sama lo?" Ucap Devon sambil duduk di gazebo tersebut. Ana ikut duduk di sebelah Devon, menatap hujan yang semakin deras.

"Apa?"

"Kenapa lo bisa ngidap kanker otak kayak gini? Pasti ada penyebab awalnya, kan?"

Ana menunduk menautkan tangannya, melipat bibirnya. "Waktu itu.."

1 tahun yang lalu

Dahlia berjanji kepada putri bungsunya, mengajak dia naik gunung untuk melihat betapa indahnya bunga edelweis.

Bunga edelweis, bunga favorit nya dari saat remaja. Hingga saat putri bungsu nya lahir, di beri nama dari nama latin bunga edelweis yaitu, Anaphalis javanica.

Sore ini, Dahlia dan putrinya yang berumur 16 tahun, tiba di salah satu pegunungan. Sedang berkemas untuk memanjat tebing.

"Segitu bagusnya ya, mah bunga edelweis?" Tanya Ana dengan dahi mengerut.

Dahlia tersenyum lebar, mengangguk sambil memakaikan putrinya alat pengamanan untuk panjat tebing. "Cantik banget, kayak anak mamah." Balas sang mamah sambil mencolek hidung kecil Ana, membuat cewek itu tersenyum lebar.

Mereka berdua mulai naik ke tebing, baru saja beberapa menit—mereka sudah berada hampir setengah gunung. Terlihat, Ana sangat menguras tenaganya untuk terus naik ke atas, sedangkan mamahnya adem-adem saja sambil bersenandung kecil.

ANAPHALIS (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang