Kamis malam. Jae-bi sedang merapikan beberapa berkas di meja kerjanya ketika suara ponsel berdering.
"Jae-bi ya, sudah mulai siaran?"
Suara Ah-ra langsung terdengar sesaat setelah Jae-bi mengangkat panggilan. Ia bergumam singkat. "Belum. Eonni di mana?"
Jika dipikir-pikir, ia memang belum melihat Ah-ra setengah hari ini. Mereka hanya bertemu ketika Ah-ra berangkat siaran pagi tadi dan tidak bertemu lagi siangnya di kantor.
"Aku di Mokpo."
"Apa?" Jae-bi kaget mendengar orang itu sudah tidak ada di Seoul. "Mokpo? Kapan? Kenapa tidak bilang padaku?"
"Maafkan aku, Jae-bi ya. Aku buru-buru sekali tadi siang dan belum sempat mengabarimu."
"Kenapa kau ke Mokpo?"
"Ibuku dioperasi."
"Apa?" Kali ini Jae-bi langsung menegakkan tubuh saking kagetnya. "Operasi? Bibi sakit apa? Kenapa sampai harus dioperasi?"
Ah-ra terkekeh di ujung sana, berusaha menenangkan Jae-bi walaupun pada kenyataannya ia malah membuat Jae-bi bingung. "Operasi usus buntu. Bukan masalah besar. Hanya saja, sepertinya ia akan sedikit membuat masalah untukmu."
"Aku?"
"Selama aku di Mokpo, tentu aku tidak bisa siaran. Kau tahu sendiri, bukan? Masalahnya, Bos tidak akan sudi merekrut penyiar baru untuk menggantikanku selama beberapa hari. Dan tidak ada penyiar di kantor kita yang bisa menggantikanku pada jam itu. Maksudku, tidak ada yang bisa menyelamatkan siaran itu kecuali ...."
"Aku." Jae-bi meneruskan ucapan Ah-ra. Sebenarnya ia sudah tahu arah pembicaraan sahabatnya itu. Seharusnya Ah-ra juga tidak perlu bicara panjang lebar. "Uruslah ibumu dengan baik, Eonni. Aku akan menggantikanmu di sini."
"Benarkah? Wah, kau yang terbaik, Jae-bi ya." Ah-ra memekik senang di ujung sana, lalu, "Baiklah kalau begitu. Mulai hari ini, hingga beberapa hari ke depan, dengan rasa hormat, aku melimpahkan pekerjaan menakjubkan ini padamu karena aku tahu kau sama sekali tidak sibuk. Sebagai sahabat yang baik, aku merasa berhak merepotkan."
***
Malam itu, Jung-won baru pulang dari kantor agensi ketika ponselnya berbunyi nyaring. Ia merogoh saku celana sambil melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. Jung-won membuka ponselnya tanpa melihat siapa yang menelepon, kemudian menempelkan benda itu ke telinga.
"Kau sedang di mana?"
Jung-won tersenyum saat mendengar suara ibunya di seberang sana. "Aku baru saja sampai di rumah." Ia berjalan pelan menuju ruang tengah lalu menjatuhkan tasnya ke lantai sebelum menjatuhkan dirinya sendiri ke sofa.
Beberapa hari lalu ia datang ke rumah orang tuanya di Dobong-gu dan sukses membuat ibunya terkaget-kaget melihat kehadirannya yang tiba-tiba. Orang tuanya sempat membujuk agar Jung-won tinggal bersama mereka, tapi Jung-won menolak. Ia lebih memilih untuk tetap tinggal di apartemennya di Gangnam agar lebih dekat dengan tempat kerja.
"Kau sudah makan malam?"
"Belum"
Jung-won kemudian mendengar ibunya mendesah panjang di seberang sana sebelum memberinya nasehat tentang pentingnya makan teratur dan sehat. Ia hanya mendengarkan nasihat ibunya yang panjang lebar sambil sesekali bergumam dan mengangguk patuh meski ia tahu ibunya tak mungkin melihat hal itu.
"Baiklah, ibuku sayang. Aku akan makan teratur, membersihkan apartemen, dan tidur dengan nyenyak. Jangan khawatir, Ibu. Aku sudah besar."
Jung-won masih mendengar nasihat lain dari ibunya sebelum kemudian ia memutuskan sambungan telepon. Ia mengesah sejenak lalu melirik jam dinding. Pukul tujuh malam. Ini minggu pertamanya resmi bekerja di kantor, tapi ia tak ingin membuang waktu. Ia langsung mengerjakan proyek pertamanya seperti mesin. Yang dirasakannya kemudian adalah lelah dan ia butuh istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH [Tamat]
RomanceHan Jae-bi bersumpah bahwa hari ini adalah hari tersial dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Hari ini ia sudah jatuh dua kali, menimbulkan satu luka di tungkai kanan, satu memar di dahi, satu peringatan keras karena terlambat, dan setumpuk omelan karena...