Han Jae-bi menatap ke luar jendela bus dengan tatapan hampa. Sejak membuka mata di pagi hari, ia tahu hari ini akan terasa begitu panjang dan melelahkan. Meskipun ia sudah memakan sup tulang iga agar memiliki tenaga lebih, nyatanya ia tetap merasa begitu lunglai. Keyakinan yang sudah dipupuknya sedemikian rupa mendadak tersedot masuk ke perut bumi.
Apakah ia sudah melakukan hal yang benar? Apakah ini saat yang tepat? Bagaimana jika ia bertemu orang lain? Bagaimana jika ia bertemu orang itu?
Jae-bi menggeleng pelan. Tidak. Ia tidak boleh menjadi lemah. Ia sudah bertekad untuk menghadapi dirinya sendiri. Jae-bi ingin menjadi berani. Ia ingin menemui orang tuanya dan melepaskan apa yang seharusnya ia lepaskan. Ia harus begitu, setidaknya agar ia bisa terus melanjutkan hidup meski Jae-bi merasa dunianya sudah runtuh tujuh tahun lalu.
Hari ini, tujuh tahun lalu, Jae-bi kehilangan kedua orang tuanya. Dan hingga kini, Jae-bi tak pernah lupa bagaimana rasanya.
***
Perjalanan bersama ke luar kota. Satu hal yang paling ditunggu Jae-bi selama masa sekolah adalah perjalan bersama ke luar kota. Tahun ini sekolah memilih Namhae sebagai destinasi kunjungan anak-anak tahun kedua. Jae-bi yang begitu menyukai pantai tentu saja amat senang berada di tempat itu. Jadi, sejak hari itu dimulai, Jae-bi sudah begitu semangat untuk menyambut perjalanan tersebut.
Hal lain yang paling disukainya selain pantai adalah permainan-permainan yang bisa dilakukan di penginapan bersama teman-temannya. Permainan kartu, jenga, monopoli, truth or dare, berbagi cerita seram. Bagian terakhir adalah favorit Jae-bi meski pada akhirnya ia akan menjalani ketakutan di malam hari demi membayangkan makhluk-makhluk seram di bawah ranjang.
Malam itu Chae Min-ju si anak teater sedang menceritakan pengalaman seram saat menginap di rumah neneknya yang terkenal angker. Mungkin karena gadis itu sudah terbiasa berlakon dan terlepas dari benar tidaknya cerita itu, Min-ju mampu membuatnya begitu hidup hingga Jae-bi merinding.
“Listrik tiba-tiba padam malam itu. Seluruh desa gelap gulita. Nenek menyalakan lilin dan meletakkan satu di kamarku. Saat ia hendak keluar dari ruangan, tiba-tiba ia berhenti lalu menatapku sambil berkata: jika kau mendengar suara-suara aneh, abaikanlah dan cepat kembali tidur. Awalnya aku mengabaikan ucapannya karena jujur aku bukanlah orang yang percaya pada hal-hal mistis. Namun, malam itu aku memang mendengar suara aneh.” Jantung Jae-bi berdegup cepat. Ia dan beberapa teman lainnya memajukan tubuh untuk mendengar cerita Min-ju lebih jelas. “Kalian tahu suara apa yang tak akan bisa kita dengar ketika listrik sedang padam?”
Di antara semua anak dalam ruangan itu, Min-ju memilih untuk menatap Jae-bi lekat-lekat hingga membuat Jae-bi meneguk liurnya sendiri dengan gugup. Ia menggeleng pelan, sementara Min-ju tersenyum seram di seberangnya.
“Suara telepon rumah.”
Tepat ketika itu, tiba-tiba suara telepon berdering nyaring. Semua yang ada di sana kaget hingga beberapa menjerit dan menghambur memeluk satu sama lain. Suasana mendadak kacau, sampai Min-ju tiba-tiba bertanya.
“Suara ponsel siapa itu?”
Jae-bi yang merasa jantungnya jatuh ke tanah mulai mencoba berpikir jernih. Saat ini listrik sedang tidak padam dan suara telepon itu masih berdering nyaring. Dicarinya sumber suara, kemudian sadar bahwa suara itu berasal dari ponsel di sakunya. Jae-bi mengeluarkan benda itu, lalu langsung disambut oleh erangan marah teman-temannya.
“Oh, dasar sial! Cepat angkat teleponmu, Jae-bi ya!” Seseorang berseru.
Saat itulah Jae-bi baru benar-benar menatap ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya di saat-saat tak tepat seperti ini. Ternyata ibunya. Orang tuanya sedang pergi untuk berkunjung ke tempat teman mereka di Itaewon. Mungkin sekarang mereka sedang dalam perjalanan pulang. Jae-bi menimbang sejenak, jika ibunya menelepon, kemungkinan besar itu bukanlah untuk sesuatu yang penting. Ibunya mungkin hanya akan bertanya apakah ia sudah makan malam atau semacamnya. Jadi, Jae-bi memutuskan untuk menolak panggilan dan mematikan ponselnya sama sekali. Ia tak ingin kejadian tadi terulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH [Tamat]
RomanceHan Jae-bi bersumpah bahwa hari ini adalah hari tersial dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Hari ini ia sudah jatuh dua kali, menimbulkan satu luka di tungkai kanan, satu memar di dahi, satu peringatan keras karena terlambat, dan setumpuk omelan karena...