Perihal Rasa Bersalah yang Bukan Milik Kita

14 3 0
                                    

Ada beberapa hal yang Jae-bi tidak suka di dunia ini. Pertama, orang yang ingkar janji. Kedua, orang yang tidak menghabiskan makanan. Ketiga, soju.

Han Jae-bi tidak suka minum soju. Ia tidak suka kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ia tidak pernah tahu perbuatan konyol apa yang bisa saja ia lakukan tanpa sadar. Namun, hari ini pengecualian. Ia ingin minum soju sampai perutnya meledak. Ia ingin kehilangan kesadaran meski ia tahu ia akan menyesal esok pagi. Ia ingin sebentar saja melepaskan apa yang selama ini bercokol di sudut terdalam hatinya.

Maka diteguknya soju langsung dari botol sambil menatap riak air sungai Han di hadapannya. Malam ini ia membiarkan dirinya sendiri merasa bebas. Benaknya melayang. Efek hampir tak pernah meminum soju ternyata cukup berat juga. Ia baru minum sedikit dan merasa hampir kehilangan akal.

“Sebaiknya kau tidak minum banyak, Nona Han.”

Oh. Jae-bi hampir lupa bahwa ia tak sendirian. Dialihkannya tatapan kepada pria di sampingnya. Jae-bi mengulas senyum tipis yang mungkin tampak menyedihkan di hadapan pria itu.

“Bisakah hari ini kau membiarkanku, Jung-won ssi?”

“Perutmu akan sakit kalau minum terlalu banyak.” Jung-won mengulurkan sepotong sosis vienna ke hadapan Jae-bi yang menyambut dengan mulut terbuka. “Setidaknya makanlah sesuatu sebagai pendamping.”

Jae-bi bersedia menerima uluran makanan itu jika artinya Jung-won akan membiarkannya minum lebih banyak. Lagipula, dibandingkan perut, hatinya jauh lebih sakit. Jae-bi tidak keberatan untuk menerima rasa sakit lain sebab itu tak akan mengalahkan rasa sakit yang bercokol di dadanya.

Jae-bi mengunyah lamat-lamat. Matanya mengedar pada sekitar. Di seberang sungai Han, lampu kota tampak berpendar. Jika dalam keadaan baik, Jae-bi mungkin akan memuji betapa cantik pemandangan yang ada di hadapannya kini. Namun, yang ia rasa saat ini justru perasaan sedih. Lampu-lampu itu kontras dengan suasana hatinya mendadak mendung sejak keluar dari kediaman Kang Yeong-hyeon sore tadi.

“Kang Yeong-hyeon.” Jae-bi bicara lirih, tapi cukup jelas untuk didengar oleh Jung-won. “Seperti apa dia?”

Hening cukup lama tanpa jawaban. Mungkin Jung-won juga merasa kesulitan untuk membicarakan hal ini sekarang. Han Jae-bi baru akan meminta Jung-won mengabaikannya ketika akhirnya pria itu bicara.

“Dia teman yang menyenangkan.” Jeda sejenak. “Namanya berarti keceriaan dan bagiku, itu adalah definisi dirinya. Saat dia tertawa dan tersenyum, aku selalu merasa ada matahari bersinar terang tepat di atas kepalanya. Dia tipe orang yang pandai bergaul. Temannya ada di segala penjuru. Bahkan dia berteman dengan pedagang tteokpokki di dekat sekolah. Ada bagusnya juga karena kami selalu mendapat ekstra mandu jika makan di sana.”

Choi Jung-won terkekeh pelan. Jae-bi ikut tersenyum. Di benaknya, Jae-bi membayangkan seorang lelaki muda dengan senyum cerah, headphone tergantung di leher, berlembar-lembar kertas penuh coretan lirik lagu yang belum tuntas di tangan, menyapa semua orang seolah musim panas mengikutinya sepanjang tahun.

“Malam itu dia sedang patah hati. Pacar yang diagung-agungkannya itu selingkuh. Sejak awal mereka bersama, aku selalu merasa bahwa wanita itu bukan orang yang tepat untuk Yeong-hyeon. Tapi dasar anak keras kepala. Ia baru berhenti saat wanita itu ketahuan selingkuh.”

Jae-bi tersenyum samar. Diteguknya lagi soju dalam botol itu hingga tandas. Tangannya kemudian meraih botol soju-nya yang kedua, berusaha membuka tutupnya dengan sisa tenaga yang ia miliki.

“Malam itu dia mabuk, Nona Han.”

Gerakan Jae-bi terhenti.

“Aku meneleponnya saat itu. Dari suaranya, aku tahu persis bahwa dia sedang mabuk berat. Tapi orang mabuk mana yang akan mengaku dirinya sedang mabuk? Yeong-hyeon bersikeras bahwa dirinya baik-baik saja dengan berlagak bisa menyeberang jalan sendiri.” Ucapan Jung-won terhenti sejenak. “Lalu kecelakaan itu terjadi.”

Han Jae-bi membeku. Dalam benaknya, yang terlintas adalah bagaimana seorang yang sedang patah hati berusaha untuk mengumpulkan kesadaran, tetapi malah dibuat tak sadarkan diri selamanya. Dan, orang tua Jae-bi ikut andil dalam insiden mengerikan itu.

“Aku selalu berpikir bahwa itu salahku. Seandainya aku lebih bisa tegas melarang Yeong-hyeon berpacaran dengan wanita itu. Seandainya aku menemaninya malam itu. Seandainya aku datang lebih cepat. Yeong-hyeon mungkin masih ….”

“Itu bukan salahmu, Jung-won ssi.”

Bukan salah pria itu jika tidak bisa datang lebih cepat untuk menyelamatkan kawannya. Apa yang terjadi bukanlah kuasa Jung-won.

Pria itu menoleh pada Jae-bi, menatapnya lembut sebelum bicara dengan nada yang tak kalah lembut. “Aku tahu. Itu bukan salahku. Begitupun denganmu, Nona Han. Kecelakaan itu bukanlah salahmu. Dan, kematian Yeong-hyeon bukanlah salah orang tuamu.”

Han Jae-bi terhenyak. Rasa sesak yang sedari tadi bercokol di dadanya mendadak tumbuh menjadi lebih besar, bersiap untuk keluar lalu meledak. Matanya terasa panas dan ia mulai tak bisa menatap Jung-won dengan jelas.

“Ini semua bukan salah siapa pun, Nona Han. Mereka hanya bertemu dalam situasi yang kurang menguntungkan.” Jung-won meraih sebelah tangan Jae-bi. “Bagaimana mungkin kau menyalahkan orang tuamu jika mereka bahkan harus merenggang nyawa dalam insiden yang sama?”

Dan, Jae-bi tak bisa menahan diri lagi. Satu butir air mata jatuh membasahi pipinya. Lalu disusul oleh butir-butir lain yang turun semakin deras. Dirasakannya tubuh yang bergetar, tersedak tangisnya sendiri. Sebentar kemudian, Jae-bi merasa dirinya ditarik ke dalam pelukan Jung-won. Kali itu Jae-bi membiarkan dirinya sendiri bersandar pada pria itu. Hatinya begitu lelah dan hilang arah. Ia butuh pegangan agar tidak jatuh semakin jauh ke dalam lubang hatinya sendiri.

“Percayalah ini bukan salah orang tuamu, pun bukan salahmu. Jangan tanggung rasa bersalah yang bukan milikmu, Nona Han.” Jae-bi merasakan usapan lembut di kepalanya. Suara Jung-won terdengar bergetar ketika melanjutkan. “Kita tidak akan pernah bisa melupakan kejadian itu, jadi jangan pernah berusaha untuk melupakan. Tapi, yang mati tidak akan bangkit lagi. Sedangkan yang hidup harus terus melanjutkan hidup. Jadi, meski sulit, maukah kau terus hidup, Nona Han?”

Choi Jung-won merenggangkan pelukannya. Kedua tangan besar itu merangkum wajah Jae-bi dan Jae-bi langsung berhadapan dengan mata cokelat yang juga tampak berkaca-kaca, sama dengan miliknya sendiri.

“Melepaskan, memaafkan, dan terus melanjutkan hidup. Maukah kau melakukannya bersamaku?”

Sorot mata itu lembut, tetapi tegas di saat bersamaan. Jae-bi dapat melihat uluran tangan untuk menyambut masa yang lebih baik. Pria itu, pria yang baru dikenalnya tak lebih dari tiga bulan itu telah berhasil menyentuh sisi terdalam yang tak pernah Jae-bi tunjukkan kepada sesiapa. Dan hari ini, Jae-bi menyambut uluran tangan itu dengan hati paling lapang yang ia miliki. Sebab meskipun ia merasa dunia telah runtuh tujuh tahun lalu, lebih dari apa pun, ia masih ingin terus melanjutkan hidup sebagaimana mestinya.

HIRAETH [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang