Hari Buruk Jae-bi

104 15 5
                                    

“Kau harus mengunjungi tempatku kapan-kapan, Hyung.”

Jung-won bicara sambil mengenakan mantel, kemudian sepatunya.

“Sepertinya begitu.” Hyun-dae menyahut dari ruang tengah. “Setidaknya aku harus memastikan apakah tempatmu itu layak huni atau tidak.”

Jung-won mendengkus. Tentu saja apartemennya layak huni. Ia bahkan yakin Hyun-dae akan berdecak kagum jika mengunjungi apartemennya nanti.

“Baiklah. Aku pergi dulu. Sampai jumpa, Hyung.”

Jung-won baru saja membuka pintu apartemen Hyun-dae dengan cepat ketika kemudian ia mendengar pekikan kecil diikuti suara benda jatuh. Atau tepatnya, seseorang jatuh.

“Astaga! Nona? Kau tak apa?”

Jung-won hendak berjongkok untuk membantu, tetapi malah tertegun ketika melihat wajah gadis di hadapannya. “Oh, kau ....”

***

Han Jae-bi menggerutu pelan saat keluar dari elevator menuju unit apartemennya. Ia mengecap hari ini sebagai hari yang sangat menyebalkan. Hari sial tepatnya. Dan di hari seperti ini, ia merasa ingin sekali memarahi seseorang.

Sungguh. Ia ingin sekali marah. Akan tetapi yang terjadi malah tubuhnya lemas tak bertenaga. Kadang rasa ingin memarahi orang malah bisa membuat tulangmu terasa seperti terbuat dari agar-agar.

Jae-bi membenahi letak earphone di sebelah telinga yang terhubung dengan walkman di saku celana sambil berjalan gontai menuju unitnya. Ketika sampai di depan pintu dan bersiap memasukan kata sandi, ponselnya berbunyi nyaring tanda sebuah panggilan masuk. Suaranya begitu berisik hingga Jae-bi bersumpah akan mengganti nada deringnya dengan suara semut.

Ia menggerutu sekali lagi sebelum mengaduk-aduk tas punggungnya dengan membabi buta. Ke mana ponsel sialan itu?

Jae-bi terus mencari-cari dan ingin sekali menumpahkan isi tasnya ke lantai lobi karena kesal, hingga akhirnya tangannya menggapai sebuah benda kecil berwarna biru tua. Sebuah USB.

Ah, benar juga. Ia harus menyerahkan benda itu pada Cha Hyun-dae, tetangganya yang tinggal di depan apartemennya, sebelum ia lupa.

Jae-bi memutuskan untuk mengabaikan ponsel yang sudah kembali senyap itu, berbalik badan, siap mengetuk pintu apartemen Hyun-dae. Namun sebelum menyentuh pintu, sesuatu yang mengejutkan lebih dulu terjadi. Semuanya berlangsung dalam hitungan detik, sehingga Jae-bi tidak sempat berpikir banyak. Yang dapat Jae-bi cerna adalah pintu di hadapannya terbuka cepat, lalu ia merasakan sebuah benturan di kepala hingga ia jatuh terduduk dengan rasa sakit luar biasa pada dahi dan bokongnya.

Astaga! Ini benar-benar hari terkutuk!

Jae-bi mengusap dahinya pelan. Pandangannya memburam. Ia harus diam sejenak untuk menyesuaikan pengelihatan yang agak kabur. Saat ini, otaknya sedang tidak bisa diajak bekerja lebih cepat.

“Astaga! Nona? Kau tak apa?”

***

“Jung-won ah, apa yang kau ....” Hyun-dae menghambur ke luar ketika mendengar keributan dan kaget melihat tetangganya duduk di lantai lobi sambil mengusap dahinya pelan. “Astaga, Jae-bi ya(1)? Kau kenapa?”

Dari tempatnya berdiri, Hyun-dae bisa melihat Jae-bi mengerjap sebentar, berusaha melihat dua orang pria yang tengah menatapnya. Gadis itu mengernyit dengan mata memicing. Ketika sepertinya ia berhasil mengenali Hyun-dae, gadis itu berhenti mengernyit.

“Kau baik-baik saja?”

“Oh?” Butuh beberapa detik bagi Jae-bi untuk mencerna pertanyaan yang ditujukan padanya sebelum menjawab, “Ya. Aku baik-baik saja.”

HIRAETH [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang