“Hei, masuklah.”
Jae-bi mengikuti Ah-ra masuk ke dalam apartemen gadis itu. Langkahnya pelan dan gontai karena dua hal. Pertama, karena ia masih mengantuk luar biasa ketika Oh Ah-ra memintanya berkunjung pagi ini. Kedua, karena kepalanya begitu pusing. Ia sedikit takjub karena berhasil menuruni tangga dari kamarnya tanpa terjerembap jatuh. Pun ketika ia sampai di unit apartemen seberang dengan selamat tanpa tersandung.
Jae-bi berusaha keras untuk tidak menengok ke arah cermin besar di ruang tamu apartemen Ah-ra. Tanpa melihat pun, ia sudah tahu bahwa penampilannya pasti sangat kacau. Rambut kusut masai, lingkaran hitam mengerikan di bawah mata, wajah kusam karena hanya puas dibasuh air sekenanya, sepasang mata dan pipi yang membengkak, piyama lusuh yang sama menyedihkannya dengan si empunya. Jika ada kontes penampilan paling acak-acakkan, Jae-bi memiliki peluang besar untuk keluar sebagai juara.
“Perutmu masih sakit?” tanya Ah-ra ketika Jae-bi mendudukkan diri di kursi meja makan.
Oh, perut Jae-bi memang sakit. Itulah akibat yang ia terima karena mengonsumsi kopi sebelum makan malam. Bahkan ia memang tak memakan apa pun semalam. Oleh sebab itu, selain sensasi berdebar yang tak kunjung usai, kali itu Jae-bi juga mendapat ekstra penyakit di perut karena asam lambungnya naik. Meski Jae-bi menggeleng untuk menjawab pertanyaan Ah-ra, tetangganya itu masih mengernyit sangsi dan tak percaya.
“Seharusnya kami tidak membiarkanmu sendirian semalam,” omel Ah-ra. Kedua tangannya dengan cekatan menuangkan sup ke dalam mangkuk, lalu membawanya ke hadapan Jae-bi beserta dengan semangkuk nasi.
“Aku baik-baik saja.”
“Ya. Kau akan terus berkata begitu sekalipun sedang sekarat.”
Jae-bi mengernyit sebal mendengar ocehan Ah-ra. “Kau semakin cerewet seperti Bibi Song.”
Yang dibilang cerewet balas menatap Jae-bi dengan sengit. Hal itu berhasil menimbulkan senyuman kecil di wajah Jae-bi. Senyum pertama yang dibuatnya setelah semalaman menangis tiada henti.
“Makanlah dengan benar kalau kau tidak ingin aku lebih cerewet lagi.” Ah-ra mendorong sepiring telur gulung ke dekat Jae-bi.
“Hyun-dae Oppa?”
“Dia sudah berangkat.”
“Sepagi ini?”
“Katanya ia akan mampir ke rumah sakit dulu sebelum berangkat kerja.”
Jae-bi mengangguk-anggukkan kepala. Ia meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan. Sebenarnya ia tidak merasa berselera. Namun karena Ah-ra sudah repot-repot memasakkan sarapan untuknya, Jae-bi tak memiliki pilihan lain selain makan. Ia akan berusaha keras untuk menghabiskan semangkuk nasi yang sepertinya sengaja disendokkan banyak-banyak itu.
“Orang itu … orang yang menabrak Jung-won ssi.” Wajah Jae-bi terangkat dari mangkuk sup. Di hadapannya, Ah-ra sedang berusaha bicara, tampak begitu berhati-hati dan penuh perhitungan. “Kudengar ia mengantuk sehingga tidak bisa mengendalikan truk.”
Ini berita baru yang Jae-bi dapat. Ia berusaha mendengarkan dengan seksama berita dari Ah-ra tanpa menangis lagi. Meski untuk itu, ia harus berusaha sekuat tenaga.
“Polisi tidak menemukan kerusakan mesin seperti ban yang meletup atau rem yang blong. Itu murni kesalahan kerja karena sopir truk mengantuk.”
“Dia terluka parah?”
“Tidak lebih parah dari Jung-won. Dia hanya pingsan beberapa jam dan mendapat beberapa luka ringan. Sisanya, dia baik-baik saja.”
Jae-bi mengangguk pelan. Tidak tahu pasti apa yang harus ia rasakan kepada orang yang sudah membuat Jung-won terluka parah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH [Tamat]
Roman d'amourHan Jae-bi bersumpah bahwa hari ini adalah hari tersial dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Hari ini ia sudah jatuh dua kali, menimbulkan satu luka di tungkai kanan, satu memar di dahi, satu peringatan keras karena terlambat, dan setumpuk omelan karena...