Menginap di tempat Choi Jung-won bukanlah sesuatu yang bisa Jae-bi bayangkan terjadi. Tidak dengan mengingat bahwa pria itu masih termasuk orang yang baru-baru ini muncul di hidupnya. Pria itu yang mengusulkan sendiri karena khawatir Jae-bi akan jatuh dari tangga dengan kepala sepusing ini. Ia ingin membantah saat teringat bahwa kekhawatiran Jung-won memang benar-benar pernah terjadi dulu.
Saat itu ia sedang sakit persis seperti sekarang dan jatuh dari tangga karena terlalu pusing. Jae-bi beruntung karena jatuh di dua tangga terakhir, sehingga tubuhnya tak terjun dari ketinggian ekstrem. Ia beruntung karena saat tubuhnya terjerembap di lantai, ia tak membentur perabotan apa pun, dan ia juga tak pingsan. Ia lebih beruntung lagi karena saat itu, ada Seung-jo dan Bibi Song di sana yang langsung menghambur ke arahnya dengan panik. Setelah itu, Jae-bi diboyong ke kediaman keluarga Song dan kembali ke kamar lamanya sebagai orang sakit.
Jika dipikir-pikir, keberuntungan seperti itu mungkin saja tak terjadi dua kali. Kepalanya sangat pusing. Jae-bi tak bisa menyangkal kemungkinan bahwa bisa saja ia jatuh dari ketinggian yang lebih dari sebelumnya dan mendapat luka yang lebih serius. Jadi, meskipun merasa malu dan segan, ia menerima tawaran untuk menginap di tempat Jung-won.
Setelah memeriksakan diri ke rumah sakit dan menebus obat, Jung-won langsung menggiringnya ke apartemen pria itu. Di sinilah Jae-bi berada. Hari ini Jae-bi merasa dirinya berubah penurut. Mungkin karena tubuhnya sedang sangat lemah, sehingga ia tak memiliki tenaga untuk mendebat. Jadi ia menurut saja saat Jung-won membimbingnya masuk ke kamar pria itu dan membantunya berbaring.
“Kau butuh sesuatu?”
“Air putih.”
“Sebentar.”
Jae-bi menyandarkan tubuh di kepala ranjang, sementara Jung-won mengambilkan minum. Saat pria itu kembali, ia membawa segelas air putih di tangan. Jung-won membantu Jae-bi minum, lalu meletakkan gelas itu di nakas.
“Berbaringlah. Kau harus istirahat.”
Jae-bi mengangguk pelan sebelum merebahkan dirinya. Ranjang ini sangat empuk, hangat, dan menguarkan aroma khas Jung-won, membuat Jae-bi terbuai serta merasa tenang. Ia merasakan usapan lembut di puncak kepalanya yang pusing dan merasa sangat mengantuk. Obat yang beberapa saat lalu diminumnya mungkin sudah mulai bereaksi, membuatnya hampir tak bisa membedakan mana kehidupan nyata, dan mana alam mimpi. Ia pasti akan bertanya-tanya nanti ketika sepenuhnya sadar karena merasakan kecupan singkat di dahinya tepat ketika ia akan jatuh tertidur.
***
Saat sedang sakit, kau biasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk tidur. Kepalamu terlalu pusing untuk menghitung waktu, sehingga ketika bangun kau akan kehilangan orientasi. Itulah yang Jae-bi rasakan saat ini.
Sesaat setelah matanya terbuka, ia tak bisa menentukan waktu. Namun dengan melihat tak ada cahaya yang menyusup dari balik tirai, bisa dipastikan langit sudah berubah gelap. Jae-bi mencoba untuk bangkit. Ia masih merasa pusing, tapi tak sehebat sebelumnya. Satu hal yang ia rasakan kemudian adalah haus.
Jae-bi melirik ke arah nakas dan mendapati gelas minumnya sudah kosong. Ia meraih gelas itu, bangkit dari ranjang, kemudian berjalan pelan keluar kamar. Tepat ketika pintu dibuka, ia mendengar suara Jung-won sedang berbicara dengan seseorang di dapur. Jae-bi berjalan mendekat, lalu duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan. Pria itu menyadari kehadirannya dan tampak sedikit terkejut.
“Jangan khawatir.” Ternyata Jung-won sedang menelepon. “Nona Han baru saja bangun. Aku sedang menyiapkan makan malam.”
Mendengarkan namanya disebut, Jae-bi bertanya siapa yang menelepon Jung-won dengan gerakan bibir tanpa menimbulkan suara. Jung-won membalas dengan cara serupa, dan Jae-bi mengenali kata “hyung” dari bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH [Tamat]
RomanceHan Jae-bi bersumpah bahwa hari ini adalah hari tersial dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Hari ini ia sudah jatuh dua kali, menimbulkan satu luka di tungkai kanan, satu memar di dahi, satu peringatan keras karena terlambat, dan setumpuk omelan karena...