Menghadapi Rasa Takut

21 3 0
                                    

Gadis itu ketakutan.

Choi Jung-won tak mengerti apa yang membuat Han Jae-bi begitu ketakutan ketika menatap Bibi Kang. Telapak tangan gadis itu dingin dan berkeringat. Wajahnya terlihat khawatir. Matanya tampak tak fokus. Namun, ia tetap melangkah masuk ke rumah Bibi Kang meski terlihat enggan. Jung-won mengeratkan genggaman tangannya, mencoba menyalurkan sedikit energi yang ia punya karena miliknya sendiri pun sudah terkuras habis sejak ia membuka mata di pagi hari.

Sementara mereka melangkah masuk ke dalam rumah dan menempati bantal-bantal duduk di lantai ruang tamu, Jung-won merasakan serbuan kenangan yang datang serta merta. Sejak hari kematian sahabatnya tujuh tahun lalu, ini adalah kali pertama Jung-won menginjakkan kaki kembali ke rumah ini. Meski sudah mencoba untuk menjadi kuat, Jung-won tak dapat menghindari rasa sedih dan rindu yang masih bercokol begitu rupa jauh di dalam lubuk hatinya.

"Kuharap kalian tidak keberatan dengan teh melati."

Bibi Kang muncul dengan tiga cangkir teh hangat dan sepiring roti buatan tangan yang menguarkan aroma menyenangkan. Jung-won kenal aroma itu. Aroma yang rutin dihidunya dari rumah ini tiap musim gugur. Ia baru dapat mencium aroma yang sama setelah tujuh tahun dan tak ada yang berubah. Sama seperti keadaan rumah dan pemiliknya. Satu-satunya hal yang berubah adalah kenyataan bahwa rumah ini telah kehilangan salah satu penghuninya.

Tatapan Jung-won beralih pada sebuah figura besar di dinding ruangan. Kang Yeong-hyeon bersama dengan kedua orang tuanya tersenyum cerah di foto itu. Benar. Senyuman Yeong-hyeon selalu cerah seperti itu. Tepat seperti itu.

"Yeong-hyeon adalah anakku satu-satunya." Bibi Kang melarikan tatapan kepada gadis di samping Jung-won. "Setelah ayahnya meninggal sepuluh tahun lalu, Yeong-hyeon menjadi satu-satunya yang kumiliki."

Yeong-hyeon dan Bibi Kang adalah figur kekuatan yang Jung-won tahu. Bagaimana mereka saling bergantung, bersandar, dan menguatakan satu sama lain setelah kematian kepala keluarga adalah hal yang sungguh luar biasa. Mereka adalah kekuatan untuk masing-masing. Jadi ketika salah satunya menghilang, sedikit banyak Jung-won mengerti bagaimana rasanya. Mungkin seperti setengah dari jiwamu ikut terbakar bersama jasad itu.

"Ketika seorang anak kehilangan ibu, ia akan menjadi piatu. Ketika seorang anak kehilangan ayah, ia akan menjadi yatim. Tapi, tidak ada definisi untuk orang tua yang kehilangan anaknya." Meski berbicara sambil menunduk, Jung-won tahu bahwa Bibi Kang sedang berbicara kepada Jae-bi. Tubuh Jae-bi semakin menegang dan tangan dalam genggaman Jung-won mengetat. Mau tak mau, Jung-won jadi merasa khawatir pada Han Jae-bi. Ia sedang memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini ketika Bibi Kang kembali bicara.

"Itulah yang aku pikirkan tujuh tahun lalu." Kali ini Bibi Kang mengangkat kepala dan menatap Jae-bi lurus-lurus. "Tapi aku lupa bahwa apa pun bentuknya, kehilangan seseorang yang amat kita cintai tetaplah menyakitkan. Tidak seharusnya aku membandingkan luka seseorang dengan milikku sendiri. Hari itu aku sudah bertindak amat egosi karena mengabaikan rasa sakitmu, Nona."

Han Jae-bi mengangkat wajah. Bibir gadis itu bergetar. Meski masih tampak takut, Jung-won melihat gadis itu berusaha untuk menatap Bibi Kang.

"Aku selalu ingin mengatakan ini padamu, tapi aku tak pernah melihatmu berkunjung ke trotoar itu." Bibi Kang menatap Jae-bi dengan tatapan yang sulit Jung-won mengerti. "Maaf karena menyalahkanmu tujuh tahun lalu."

***

Jae-bi, Guru Kim, dan Guru Go baru bisa tiba di Seoul empat jam kemudian. Sudah dini hari ketika Jae-bi melirik jam besar di rumah sakit itu. Ia pun heran karena masih sanggup memikirkan waktu ketika seluruh tubuhnya hampir tak berfungsi. Pikirannya kacau. Apa yang ada di otaknya sejak tadi adalah penyesalan. Jika saja ia mengangkat telepon dari ibunya. Jika saja ia tidak mengabaikan panggilan ibunya. Mungkin ... mungkin Jae-bi bisa mendengar suara ibunya untuk kali terakhir.

HIRAETH [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang