Pesona Choi Jung-won

19 4 2
                                    

Pagi ini Jae-bi bangun dengan perasaan hangat. Suasana hatinya sangat baik, hingga ia yakin matahari pun akan tersenyum melihatnya.

Apa yang membuatnya merasa senang? Mungkin karena Ah-ra sudah kembali sehingga ia tak perlu lagi siaran di pagi hari? Mungkin karena semalam ia makan ayam goreng sampai puas? Atau mungkin karena Choi Jung-won?

Jae-bi menggelengkan kepalanya, menolak gagasan terakhir. Tidak. Tidak mungkin itu alasannya. Ini semua pasti karena buah persik yang dimakannya semalam.

Benar, putus Jae-bi dalam hati. Ia mengangguk, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhya lebih rapat. Ia sangat menyukai buah persik dan ia sudah lama sekali tidak memakan buah itu. Pasti itu sebabnya. Alasan kenapa ia bangun dengan perasaan membuncah adalah karena buah persik. Benar. Pasti begitu.

Tapi kenapa hatinya berkata lain? Kenapa hatinya merujuk pada sesuatu yang lain?

Bing!

Ponsel Jae-bi berdenting, tanda sebuah pesan masuk. Dengan segera ia menyingkirkan selimut tebalnya, merangkak untuk meraih ponsel di nakas. Detik berikutnya, ia menjatuhkan tubuhnya telungkup di ranjang sambil tersenyum-senyum sendiri membaca isi pesan.

Selamat pagi, Nona Han. Sudah bangun?

Jae-bi tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terpekik pelan. Hanya karena sebuah pesan?

Sudah.

Dengan tidak sabar, ia menunggu pesan balasan dari Jung-won. Astaga. Kenapa ia bertingkah seperti remaja yang jatuh cinta untuk pertama kalinya?

Tunggu dulu.

Jatuh cinta?

Ring. Ring. Ring. Ring. Yeojeonhi bappeun ni pon oneuldo buri na ....

Jae-bi kaget karena lagu You Call it Romance dari K.Will ft. Davichi tiba-tiba terdengar nyaring. Ia mencari-cari sumbernya dan ternyata suara itu berasal dari ponsel yang sedang ia pegang. Sejenak ia hanya menatap benda itu dengan bingung. Lalu matanya langsung melebar ketika membaca nama Choi Jung-won berkedip-kedip di layarnya.

Ia mengusap layar ponselnya sekaligus membalik tubuh dengan tiba-tiba hingga puncak kepalanya membentur dinding yang keras, membuatnya mengaduh kesakitan tepat ketika telepon tersambung.

Kau kenapa, Nona Han?

Jae-bi bangkit duduk sambil masih mengusap puncak kepalanya yang terasa nyeri. “Kepalaku terbentur dinding.”

Ya ampun. Itu pasti sakit sekali. Kau tak apa? Kau masih ingat padaku?

Jae-bi mendengkus pelan. “Ya. Aku masih mengingatmu dengan sangat jelas meskipun aku sangat ingin melupakanmu. Tapi sepertinya kau yang akan melupakanku terlebih dahulu.”

Tidak. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Jika suatu hari aku hilang ingatan, satu-satunya hal yang kuingat adalah kau, Nona Han.

Jae-bi menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha sebisa mungkin agar tidak memekik senang.

Nona Han? Kau masih di sana?

“Uh? Oh ... ya.” Jae-bi berusaha menemukan akal sehatnya lagi. “Omong-omong, ada apa menelepon pagi-pagi?”

Entahlah. Tiba-tiba saja aku ingin meneleponmu.

Kali ini Jae-bi tidak bisa menahan diri. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga, kemudian memutar kepalanya sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri dengan sebelah tangan yang tidak memegang ponsel tanpa menimbulkan suara. Astaga. Apa pria itu sedang merayunya? Kenapa pria itu suka sekali membuatnya melambung hanya dengan kalimat sederhana?

HIRAETH [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang