Setelah turun dari bus beberapa saat lalu, Jae-bi belum beranjak dari halte pemberhentiannya. Ia masih duduk di sana, menatap lingkungan sekitar yang tak asing. Lingkungan lamanya. Sebuah taman bermain di seberang jalan, toko permen di sampingnya, trotoar yang pernah setiap hari dilaluinya.
Rumah lamanya berada tiga blok dari sini. Jika ia memilih jalan pintas di samping toko permen itu, Jae-bi akan sampai ke rumahnya lebih cepat. Jalan itu kecil sehingga hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki, pengendara sepeda, atau sepeda motor. Mobil hanya bisa melewati jalan besar yang memutar. Masih harus lurus beberapa ratus meter dari halte ini, lalu berbelok di persimpangan jalan di dekat minimarket.
Minimarket itu.
Butuh usaha besar untuk Jae-bi beringsut dari tempatnya semula dan melangkah pergi dari sana. Ia kembali merasakan langkah-langkah berat itu setelah sekian lama. Seperti ada bola besi yang diikatkan ke pergelangan kakinya. Langkah yang sama beratnya dengan yang ia rasakan ketika menghadiri upacara pemakaman ayah dan ibunya.
Langkahnya baru terhenti di seberang sebuah minimarket, tampat kecelakaan nahas itu terjadi. Mereka yang ditinggalkan selalu memperingati hari itu dengan meletakkan karangan bunga dan barang-barang kenangan di sana.
Ini adalah kali pertama Jae-bi datang. Selama tujuh tahun orang-orang datang ke sini untuk mengenang, sementara Jae-bi bertahan di kamarnya, bersembunyi di bawah selimut dan berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk. Jae-bi selalu datang ke makam orang tuanya, juga melakukan upacara peringatan bersama keluarga Song. Namun ia tak pernah datang ke jalan itu dan menghadapi rasa takutnya. Ia tak ingin bertemu wanita itu, ibu dari pemuda malang itu.
Jae-bi merogoh tas kecilnya, mengambil boneka rajut berbentuk sepasang suami-istri. Jae-bi menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuat figur kedua orang tuanya. Ayahnya yang tinggi tegap dengan setelan jas rapi, ibunya dengan gaun rumah sederhana sedang memeluk sebuah buku tebal. Pemandangan yang dulu sering dilihatnya, tetapi sekarang terasa sudah tertinggal jauh di belakang.
Jae-bi menunduk untuk melihat barang-barang yang ada di sana. Seikat bunga krisan, kotak musik, komik lama, garputala, lalu seikat baby breath. Ibu selalu suka bunga baby breath. Tanpa banyak berpikir, Jae-bi tahu Bibi Song yang meletakkan bunga itu di sana.
Jae-bi berjongkok. Ia meletakkan boneka rajut buatannya di samping bunga dari Bibi Song. Ditatapnya benda itu lama sekali hingga pandangannya sendiri mengabur. Jae-bi mengusap sudut matanya cepat. Ia sudah berjanji untuk menjadi kuat hari ini. Tak seharusnya ia menangis cengeng di depan orang tuanya.
“Maaf aku aku baru datang sekarang.” Jae-bi menarik napas dalam. “Bagaimana kabar kalian?” Pertanyaan itu menggaung di udara tanpa jawaban.
Jae-bi menarik sudut-sudut bibirnya. “Kabarku baik. Aku masih siaran. Bibi Song masih begitu cerewet. Bos masih begitu menyebalkan. Tapi mari kita bicara hal-hal baru yang terjadi akhir-akhir ini. Aku sedang menyelesaikan selimut dari kain perca yang sempat kutinggalkan. Seung-jo Oppa naik jabatan baru-baru ini. Hyun-dae Oppa akhirnya melamar Ah-ra Eonni. Kurasa mereka akan segera menikah dan pindah ke tempat yang lebih besar.” Jae-bi beringsut untuk duduk di sebuah bangku di trotoar itu. Ceritanya terhenti sejenak saat ia teringat seseorang yang belum pernah ia ceritakan kepada orang tuanya.
“Dua bulan lalu aku bertemu dengan orang yang menyebalkan. Namanya Choi Jung-won. Dia seorang produser rekaman sekaligus penulis lagu yang jenius. Semua lagu yang ia ciptakan selalu berhasil memuncaki tangga lagu. Meski begitu, seperti yang sudah kukatakan, dia orang yang menyebalkan, ceroboh, suka menghilang seenaknya, suka membuatku marah, jahil, tidak pernah serius. Ia bahkan membuat dahiku lebam di pertemuan pertama kami.” Jae-bi tertawa kecil mengingat kejadian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH [Tamat]
RomanceHan Jae-bi bersumpah bahwa hari ini adalah hari tersial dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Hari ini ia sudah jatuh dua kali, menimbulkan satu luka di tungkai kanan, satu memar di dahi, satu peringatan keras karena terlambat, dan setumpuk omelan karena...