Jack in the Box

9 2 3
                                    

Bab ini sebenarnya bukan bagian dari naskah utama. Tapi kemarin saya iseng lihat draft Hiraeth tempat saya nulis adegan-adegan spontan untuk keperluan cerita. Lalu saya nemu beberapa adegan yang terlalu gemas untuk dibuang. Jadi inilah dia.
Meski singkat, semoga kemanisan bab ini bisa sampai kepada teman-teman pembaca.
💜

---

Ada kalanya Han Jae-bi merasa bahwa hidup itu mirip dengan Jack in the Box. Manusia menjalani hari seperti memutar tangkai kunci di kotak itu seolah hidup adalah perputaran stagnan yang dilabeli rutinitas. Mereka tidak pernah tahu kapan Jack akan mencuat dari dalam kotak dan membuat jantung bekerja lebih cepat dari seharusnya.

Permainan ini sesungguhnya tidak disarankan bagi pengidap penyakit jantung. Hanya saja hidup bukan sekotak permainan. Hidup tidak pemilih dalam menentukan target. Tak peduli tua-muda, lelaki-perempuan, sakit atau sehat, semuanya seolah memiliki jatah masing-masing untuk bertemu dengan Jack dalam keadaan apa pun.

Hal yang disayangkan dari hidup adalah manusia tidak bisa mengantisipasi kapan kejutan itu datang. Tidak seperti Jack in the Box yang meskipun waktu kemunculannya merupakan sebuah misteri, pemain masih tetap bisa bersiap-siap. Manusia tidak selalu dapat mengantisipasi hal-hal tidak terduga. Seperti Han Jae-bi yang tidak menduga bahwa hanya dengan membuka pintu ruang siaran usai bertugas dapat membuatnya terkaget-kaget luar biasa.

Bagaimana tidak? Jae-bi melihat Choi Jung-won keluar dari ruangan Lee PD dengan santai seolah itu adalah ruangannya sendiri. Untuk apa pria itu di sana? Meskipun gedung stasiun radio ini merupakan tempat umum yang sering dikunjungi orang luar, para pekerja memiliki batas teritorial tersendiri yang tidak bisa sembarangan dimasuki. Bilik kerja para staff tentu saja menjadi area terlarang. Lantas mengapa Choi Jung-won bisa berada di sana?

Belum sempat pulih dari keterkejutan, Han Jae-bi tersentak ketika matanya bersitatap dengan Jung-won dan pria itu tersenyum lebar sekali sambil melangkah ke arahnya. Jae-bi yang masih terpana hanya bisa diam di tempat, menunggu Jung-won sampai di hadapan.

"Selamat malam, Nona Han."

Mata Jae-bi mengerjap pelan. "Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Tidak boleh?"

"Tentu saja tidak. Kecuali kalau kau ada agenda wawancara di salah satu acara kami."

"Aku tidak ada wawancara apa pun. Hanya mengobrol dengan Lee PD."

Kening Jae-bi berkerut-kerut. "Mengobrol?" Situasi aneh macam apa ini?

"Kami berpapasan di lobi, lalu Lee PD menawarkan kopi dan kami mengobrol sebentar di ruangannya." Jung-won bicara santai sambil mengangkat sebelah tangan. Ada gelas kertas berisi kopi di sana. "Dia bertanya kenapa aku tidak menelepon radio lagi."

Kerutan di kening Jae-bi menghilang, digantikan oleh wajah tegang dan mata yang menyorot penuh antisipasi. Gestur itu sepertinya tertangkap oleh Choi Jung-won sebab pria itu langsung tertawa geli sambil mencubit pelan sebelah pipi Jae-bi.

"Aku tidak akan mengacau. Kau bisa tenang. Coba singkirkan ekspresi menuduh itu. Kau terlihat lucu."

Jae-bi mencebik sebal. "Sekadar informasi. Aku masih trauma kalau kau menyinggung tentang menelepon radio atau semacamnya. Kau tidak tahu betapa malunya aku saat itu."

Jika kenangan adalah sesuatu yang ditulis menggunakan kapur dan bisa dihapus dengan mudah, Jae-bi akan memilih hari siaran memalukan itu untuk dihapus selamanya.

Namun sayang. Sepertinya Jung-won meminjam kapur milik Rudy Tabootie dari serial animasi Chalkzone, sehingga ketika Jae-bi berusaha untuk menghapusnya, kenangan itu malah masuk kian dalam di kotak memorinya. Membentuk akar-akar kuat yang mustahil untuk dicabut, lantas menetap di sana, siap muncul kapan saja untuk membuat Jae-bi merasa dihantui mimpi buruk.

HIRAETH [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang