Pria yang Menghilang

252 24 14
                                    

"Jadi kapan kau sampai?"

Choi Jung-won bersandar di punggung kursi, memindahkan ponsel dari satu telinga ke telinga lain sambil mengalihkan pandangan ke arah jalan di bawah sana. Dari lantai dua kafe yang terbuka ini, ia bisa melihat kota dengan leluasa sambil menikmati secangkir americano.

Seoul menjelang malam tampak tak terlalu ramai. Beberapa orang berjalan cepat sambil merapatkan mantel di bawah sana, menghalau rasa dingin yang dibawa angin musim gugur. Sejak ia meninggalkan Tokyo dan sampai di Seoul siang tadi, ia tak bisa tidur dengan nyenyak. Jung-won tidak tahu apakah penerbangan selama beberapa jam bisa membuatnya jet lag, tapi dia memang tak bisa tidur dengan baik.

Setelah gagal berusaha keras untuk istirahat, ia memantapkan hati untuk "menghilang" sebentar. Keluar dari apartemen barunya, berjalan menyusuri jalan yang entah membawanya ke mana, mencari makan siang yang terlambat di restoran pertama yang dilihatnya, hingga kemudian memutuskan bahwa ia membutuhkan kafein, meski seharusnya dia tidur saja.

Setidaknya, berkeliaran seperti itu bisa membuatnya merasa lebih baik. Masalahnya adalah, seseorang yang meneleponnya saat ini sama sekali tak suka dengan konsep "menghilang" yang diusung Jung-won.

"Siang tadi," sahutnya sambil memutar cangkir kopi dengan tangan yang tak memegang ponsel.

Orang di seberang sana mendesah pelan. "Dan kau tidak memberitahuku. Kejutan besar, Jung-won ah(1)."

Jung-won tersenyum kecil. Entah karena udara musim gugur yang disukainya atau karena berhasil membuat orang yang meneleponnya merasa kesal. Keduanya sama-sama menyenangkan.

"Maaf, Hyung(2). Tengah malam kemarin aku melihat promo tiket murah untuk penerbangan siang ini dan aku mengambilnya tanpa sempat memberitahu siapa pun." Jung-won berkata tanpa benar-benar memaknainya. Matanya menangkap seorang gadis mungil sedang berjalan tergesa di bawah sana.

Gadis itu memang sangat mungil dan ia terlihat sangat sibuk membawa banyak kertas tanpa penjepit dan tidak memperhatikan jalan. Padahal ada jalan licin di depan, sekitar tiga meter dari posisi gadis itu sekarang.

Jung-won menghitung dalam hati, bersiap melihat pertunjukan besar.

Sementara itu, orang yang meneleponnya kembali mendesah, membuat pikiran Jung-won terbagi. Ia bisa membayangkan orang itu, Cha Hyun-dae, kakak sepupunya yang cerewet, sedang memutar matanya gusar. Mungkin sudah merasa hampir putus asa dengan perilaku Jung-won yang serbaspontan.

"Aku serius, Hyung." Jung-won bicara lagi. "Aku belum memberitahu siapa pun, sampai kau menelepon."

Hitungannya sudah hampir selesai, ia bersiap untuk kejutan yang sudah diperkirakannya sendiri. Tiga ... dua ....

"Itu dia masalahnya. Kakakmu meneleponku dengan suara panik dan berkata bahwa kau tiba-tiba hilang. Kau sekarang buronan, Choi Jung-won!"

Satu ....

Jung-won tertawa keras begitu melihat gadis di bawah sana terjengkang dan melemparkan semua benda di tangannya, membuat banyak sekali kertas berhamburan di udara sebelum jatuh terserak di sekitarnya. Benar-benar hari yang buruk. Tapi dengan teganya Jung-won menjadikan momen itu sebagai hiburan gratis yang berhasil membuatnya terpingkal-pingkal. Oh, lihatlah kertas-kertas itu berhamburan seperti konfeti yang jatuh saat sebuah pertunjukan selesai.

Gadis di bawah sana mendongak sambil menyipitkan mata karena mendengar tawa Jung-won yang terlalu keras. Jung-won buru-buru memalingkan wajah, memindahkan ponselnya ke telinga lain untuk menunjukkan bahwa ia tertawa bersama orang di telepon.

"Hei! Aku tidak sedang melucu, Jung-won ah!"

"Astaga! Tidak ... tidak .... Aku tidak menertawakanmu, Hyung. Tadi ada seseorang jatuh terpelanting di trotoar, menghamburkan barang bawaannya dan ...."

HIRAETH [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang