Desember bulan basah. Penghujung musim gugur dimana angin kencang merenggut dedaunan dari ranting rapuh yang menjaganya. Dari barisan bebatuan yang mengular di jalan padang rumput di bukit itu, Rose terdiam di tempatnya berada memandangi kekosongan nisan marmer abu-abu yang masih selalu bisu di hadapannya.
Ia membiarkan gerimis lembah mengotori mantelnya yang berwarna biru tua, juga kebekuan yang menyusup di bawah pori-pori kulitnya. Ketika ia menengadah ke langit, ia akan menemukan pemandangan yang sama. Suram dan pucat.
Ia tahu seseorang tiba di sana dari udara yang terdistorsi. Ia telah belajar tentang perbedaan udara yang retak karena sihir apparate. Dan hanya butuh beberapa menit sampai akhirnya ia mendengar derit ranting rapuh atau daun-daun kering yang dipijak langkah kaki.
Seseorang itu terhenti di samping Rose. Menyusupkan tangannya ke saku jubah untuk mengeluarkan segenggam buket mawar putih yang telah ia kenali. Pria paruh baya itu meletakkannya di depan nisan marmer kelabu yang kontras dengan putih bersih dari warna kelopaknya.
Menit-menit kesendirian Rose pecah dengan kedatangannya. Draco menarik napas panjang dari uap beku dan mengembuskannya kembali. Mencipta jejak putih dari celah bibirnya. Selalu, untuk yang kedua kali mereka melalui waktu dalam getir konstan yang tak nyaman. Setelah menghabiskan botol-botol memori milik ibunya, Rose akhirnya memutuskan untuk menunggu Draco di sana. Di pekuburan tempat yang hidup menangisi tulang belulang dan arwah. Ia tak tahu pasti mengapa hatinya menuntun apa yang ia lakukan saat ini. Atau bagaimana perasaannya terkait pria di sebelahnya.
Beberapa detak waktu terlewati dengan hanya menatap keheningan di bukit itu. Seperti merapalkan mantra non verbal atau mungkin mengingat kembali banyak memori dan tenggelam dalam ingatan. Seolah bisa merasakan kehilangan mendalam dari Draco Malfoy, yang mematung dengan keheningan. Rose tak tahu pasti berapa banyak waktu yang dihabiskan mantan guru ramuannya di sana. Di pekuburan itu sepanjang waktu untuk mengenang kekasih yang tak pernah dipilih takdir untuknya.
Menyelesaikan seluruh memori ibunya membuat Rose setidaknya mengerti bagaimana besarnya amukan badai yang menghujan di diri seorang Draco Malfoy. Atau mungkin apa yang ia pikirkan. Meskipun Rose ragu tentang bagaimana atau mengapa, namun ia bisa melihat kesedihan itu tidak ditutupi dengan baik di mata abu-abunya.
Draco menengadahkan wajahnya dan menoleh pada hazel Rose di sebelahnya. Dengan wajah dingin dan teduh ia mengamatinya untuk beberapa saat.
"Apakah aku mengganggu waktumu?"
Rose menarik napasnya segera, terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menggeleng kemudian. "Sama sekali tidak, Sir."
Rose menyelipkan tangannya yang bebas ke saku mantel. Udara penghujung musim gugur telah benar-benar beku dan ia telah kesulitan merasakan hangat di telapak tangannya.
"Terima kasih telah berbagi waktumu, kata Draco tanpa beralih dari nisan Hermione.
Rose ragu-ragu untuk menoleh padanya, sehingga gadis itu melakukan hal yang sama dengan mengamati kekosongan atau buket mawar putih yang dibencinya di depan nisan. Ia melarikan pandangannya dari sana untuk mencegah memori liar dari gambaran mengerikan mawar. Memori-memori itu masih berenang bebas di kepalanya. Menyatu dan saling sahut hingga ia mulai kebingungan memilih mana yang nyata dan mana yang fana.
"Aku telah menyelesaikan memori itu." Rose mengatakannya begitu saja. Ketika Draco akhirnya menoleh lagi dengan tatapan beku yang masih sama, kelabunya berkilat.
"Kau mendapatkan sesuatu?"
"Cukup banyak." Rose bergumam.
Draco menutup matanya sejenak, kemudian membukanya lagi. Mengalihkan wajahnya dari Rose yang menelitinya. Ia menghembuskan napas keras untuk ke sekian kali. Mengusir kebekuan yang tetiba menjalar di bukit itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MYSTIFIED (DRAMIONE & SCOROSE)
Fanfiction(Complete) Kematian Hermione Weasley menjadi awal bagi pembuka rahasia kelam di masa lalu. Dan Draco Malfoy menjadi yang paling bertanggung jawab karenanya. Seri multichapter dari Miserable Harry Potter © JK Rowling Cover: Googlesearch, canva, picsa...