13

393 53 6
                                    

#Flashback

Suara uap dari teko ketel memecahkan lamunannya. Ia berbalik pada kompor kemudian mematikan api. Menarik selembar serbet untuk meraih pegangan alumunium. Perlahan, ia menuangkan air panas ke dalam cangkir yang berisi daun teh kering dan beberapa kuncup bunga chamomile. Memberikan beberapa blok kecil gula kemudian mengaduknya.

Ia menghela nafas pelan. Menghembuskannya untuk mengusir uap panas pada cangkirnya.

Duduk di kursi kayu yang berada di sisi bingkai jendela yang celahnya terbuka. Mengetuk-ngetuk wajahnya dengan alunan angin beku juga gerimis. Musim dingin datang lebih cepat tahun ini. Mata coklat madunya dengan baik bisa mengamati tetes putih yang ikut luruh bersama deru hujan. Itu kebekuan yang indah.

Hermione menyesap tehnya. Menguarkan uap panas menjalar ke kerongkongan. Mengisi dadanya yang sesak dengan kehangatan dan ketenangan dari aroma kuncup bunga, yang larut bersama serpihan dedaunan dalam cangkirnya.

Hampir satu bulan sejak pertengkaran tanpa sepakat antara ia dengan Draco berlalu. Meninggalkan kekosongan pondok tanpa suara. Ia hanya akan menemukannya lebih senyap dari yang ia kenal. Menautkan pikirannya dalam lamunan masing-masing, kemudan menyatu dalam pelukan. Tanpa kata. Tanpa aksara. Hanya ada irama detak jantung masing-masing, juga sentuhan yang kelak akan mereka rindukan.

Riuh teredam dalam khayal. Seakan enggan mengakui retak dari jalinan yang yang telah rusak. Menanti tiap detak waktu menuju penghujung. Menuju perpisahan.

Gadis itu menyesap kembali cangkirnya. Meraba porselen di jemarinya yang mulai beku. Sementara titik gerimis mampir di wajahnya yang kebas. Pucat. Ia membiarkan dingin menyengat mengigit kulitnya yang rapuh.

Pagi itu, ia memilih melalui tiap menitnya dengan mengisi waktu berdiam diri di pantri. Menatap pada kekosongan di luar jendela. Pada gambaran padang hijau yang telah mati. Juga laut biru yang membentang hingga batas cakrawala. Menikmati dersik dari riak ombak yang memecah karang jauh dari pendengarannya.

Samar.

Membisikkan penyesalan dan rasa sakit. Juga kerinduan untuk meninggalkan pondok penuh kenangan. Satu lagi jalinan yang waktu yang ia ukir harus terhenti.

Untuk waktu yang telah mereka lalui, mereka bahkan belum pernah menikmatinya. Dan semua itu akan mati. Memudar dalam kepala masing-masing. Hingga waktu membiarkan semua kenangan tentang South burn terlupakan.

Paginya senyap. Pecah dan retak. Berderak bagai serpihan sesal. Menyesakkan. Rindu harus menunggu retas hingga meranggas.

Ia menoleh dari balik bahunya. Mendapati pagi heningnya dengan hembusan beku. Mendapati pemuda pirang platina yang memeluknya dari belakang. Mengecup belikatnya dengan perlahan. Tak ingin apapun memberi interupsi.

.

.

.

Draco menggenggam jemarinya lembut. Berbaring di atas rerumputan mati yang mulai ditutupi salju. Melayangkan kelabunya pada kanopi ranting pepohonan yang menghalangi cahaya matahari sayu siang itu. Tak ada dedaunan yang tersisa untuk direnggut angin. Tak ada getir kehijauan yang masih sembunyi dari kejamnya musim dingin.

Jemarinya beralih. Melayangkannya di atas wajahnya untuk menghalangi berkas cahaya tipis yang berhasil menembus hutan itu. Barisan pinus mati dengan daun-daun jarum yang mulai diselubungi lapisan tipis es beku.

Sewarna iris matanya. Kelabu.

Sewarna hatinya. Beku.

Ia meneliti kulit tangannya yang pucat. Mengamati garis-garis halus yang membentang. Juga bekas luka yang kusut. Terhapus dan terlupakan. Ia menutup matanya untuk mengusir siluet yang melintas di kepalanya. Untuk seluruh masa lalu yang tertinggal. Ia tak bisa lagi menyentuhnya.

MYSTIFIED (DRAMIONE & SCOROSE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang