BAB 11

21 11 5
                                    

Kami sudah berada di ruang peserta lagi. Ternyata latihan kami diawasi oleh Pak Jack. Entah sejak kapan. Dan dia menyuruh kami untuk kembali. Karena waktu untuk tim kami latihan sudah selesai.

Aku melihat ketegangan terjadi di tim 2. Sepertinya Feby dan Kak Valerie masih belum berdamai dengan tulus. Wajah mereka berdua tertekuk. Dan Kak Daran sangat terlihat kebingungan. Rambutnya sampai berantakan.

Aku melihat Kak Daran berdiri dan melangkah ke arahku. "Ralin, bisa bicara sebentar?"

"Bisa, kak. Ada apa?"

"Di luar aja."

"Oke." Lalu aku dan Kak Daran berjalan ke luar ruangan.

"Kamu teman dekatnya Feby, kan?"

Aku mengangguk. "Iya."

"Kamu bisa bantu aku mendamaikan masalah Feby dan Valerie?"

"Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu menyelesaikan masalah itu?"

"Bicara dengan Feby empat mata, beri pengertian ke dia. Nanti aku akan bicara dengan Valerie."

"Oh begitu, aku akan dengan senang hati membantu," ucapku yakin.

"Baiklah, terima kasih kalau begitu."

"Sama-sama." Kami berjalan kembali memasuki ruangan.

"Dia bicara apa?" tanya Zafar.

"Dia siapa? Kak Daran?"

Zafar mengangguk.

"Dia minta tolong aku bicara sama Feby soal masalahnya sama Kak Valerie."

"Oh, masalah yang sampai bikin dahi kamu luka?"

Aku mengangguk.

"Bukankah mereka sudah damai?"

"Mereka hanya damai untuk formalitas di depan guru. Belum damai secara tulus."

"Hah? Emang masalah apa?" bingung Aldric.

Aku dan Zafar saling tatap sambil terkekeh. Tentu saja Aldric tidak mengetahui masalah ini.

"Ada, deh," balasku.

Aldric mengangkat bahu. "Lagi pula, tidak ada untungnya aku tahu masalahmu."

Sepertinya Aldric merajuk.

Nala dan teman satu timnya memasuki ruangan. Diikuti oleh Pak Jack. "Tim 1 segera bersiap ke belakang panggung. Buat penonton terpukau."

Aku menghela napas. Aku tidak tahu bagaimana menghilangkan gugup ini. Tetapi aku harus tetap berusaha rileks.

"Nanti aku yang tampil pertama, dilanjutkan Ralin, lalu Zafar. Bagaimana?" usul Aldric.

"Bagaimana yang tampil setelahmu Zafar, lalu aku yang terakhir?"

"Tidak, Lin. Karena kita berdua bernyanyi, harus diselingi dengan puisimu," ujar Zafar.

"Tepat sekali."

Aku mengangguk pelan.

"Ya sudah, aku mau ke pemain musik dulu, untuk memastikan sekali lagi."

Aku dan Zafar mengangguk.

"Kamu sudah hafal puisinya, kan?"

"Sudah diluar kepala, Zaf."

"Kalau gitu, kamu santai saja. Semuanya akan berjalan dengan lancar. Dan kamu tidak harus membuat semua penonton terpukau dengan penampilanmu, karena setiap orang punya seleranya masing-masing."

Kalimat Zafar sudah cukup untuk menelan setengah kegugupanku. "Terima kasih, Zaf."

Pembawa acara perempuan menghampiri kami. "Halo, Ralin, Zafar!"

Enigma TersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang