BAB 4

107 48 54
                                    

30/05/24

~~

Hari ini pulang cepat. Tentu saja. Keberadaan Tim HC banyak memberikan keuntungan bagi siswa Cindrawana High School. Tetapi juga memberikan kecemasan berlebih untukku. Aku tidak bisa berhenti memikirkan hari esok, aku sangat berharap semoga apa yang aku ketahui sekarang adalah keliru.

Alasan utamaku tidak ingin mengikuti HC Looking for Talent adalah karena aku tidak tertarik dengan kepopuleran, aku tidak suka menjadi pusat perhatian, aku tidak ingin menjadi idola. Tidak. Aku tidak suka berdiri di antara gemerlap lampu juga dengan berbagai lensa kamera yang menyorotku. Karena secara tidak langsung, acara HC akan mengantarkanku kepada banyak hal yang sangat aku hindari.

Apalagi aku tidak memiliki kemampuan lebih di bidang fisik, aku bisa menghambat kinerja timku. Aku sangat menghindari suatu masalah melilitku, maka dari itu aku tidak ingin menjadi sumber masalah. Aku ingin terus bergerak di zona nyamanku, walau aku tahu itu tidak selalu baik.

Kini aku sedang berada di kamar asrama, duduk termangu di atas kasur memikirkan banyak hal buruk. Dua menit lagi aku terdiam, sebelum akhirnya aku memilih untuk ke kantin asrama. Mencari udara segar, atau semacamnya. Semoga kantin sepi, jadi aku tidak akan mendengar pembicaraan orang lain tentang HC Looking for Talents yang membuatku teringat dengan hal yang selama ini aku hindari.

Aku berjalan menuruni tangga dan langsung melangkah menuju kantin. Tetapi aku melihat keributan antara Feby dengan, aku tidak tahu siapa perempuan itu. Mereka sedang adu mulut. Aku mendekati mereka, sebelum aku sempat memisahkan mereka berdua, mereka malah saling menjambak rambut. Tidak ada yang mau mengalah.

"Kamu itu nggak tahu sopan santun banget, sih!" maki Feby.

"Enak aja, kamu duluan ya, yang cari masalah!" ujar perempuan itu tidak mau kalah.

Mereka masih saling menjambak satu sama lain. Aku menghampiri mereka, menarik tangan Feby. "Feb, udah dong. Nanti kamu bisa dihukum kalau begini."

"Dia duluan, Lin! Dasar nggak tahu malu!"

"Eh, kamu masih berani ngatai aku?!"

"Memangnya kamu siapa? Sampai aku harus takut? Anak presiden? Bukan!"

Perempuan itu semakin menjadi-jadi. Aduh, kenapa sekarang sepi sekali sih, aku harus meminta tolong kepada siapa? Kalau harus memanggil guru yang berjaga, tidak cukup waktu.

Aku berdiri di tengah-tengah mereka, masih mencoba memisahkan keduanya. "Udah, Feb. Apa pun masalahnya, bisa diselesaikan dengan baik-baik, tidak harus seperti ini."

Perempuan itu sepertinya tambah kesal karena aku mencoba ikut campur. Lalu dengan sangat sengaja, ia mendorongku sampai aku jatuh  terhempas ke samping, menyebabkan kepalaku terkena batu yang cukup besar. "Aduh," teriakku.

Feby langsung berteriak menghampiriku, "Ralin!"

Kepalaku pusing sekali dan... berdarah.

Feby berdiri. "Ini semua gara-gara kamu! Mau kamu tuh apa, sih? Kenapa sampai harus mencelakai orang? Benar-benar nggak ada akhlak!"

"Maksud kamu apa? Teman kamu tuh yang nyebelin! Ngapain coba dia ikut campur?!"

Feby menggeram kesal. "Ih, dasar nggak tahu diri!"

"Udah, udah. Aku celaka pun kalian masih tetap berantem? Aku harus gimana dulu supaya kalian berhenti?" ucapku sambil menahan pusing.

Mereka berdua langsung terdiam.

Tak lama, terdengar langkah tergesa menghampiriku. Seseorang berjongkok di sampingku, dia menatapku khawatir. Tanpa banyak bicara, dia segera membopongku menuju UKS asrama. Aku sempat melihat guru di sana, sedang memarahi Feby dan perempuan yang tidak aku kenal.

Enigma TersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang