BAB 9

22 10 2
                                    

Aku membalas uluran tangan Zafar. Kami berjabat tangan. "Terima kasih. Oh iya, ini kue untuk kamu."

Zafar mengambil kue itu. "Terima kasih."

Aku tersenyum.

"Kita ngobrol sebentar, yuk!" ajak Zafar.

Aku mengangguk.

Lalu kami berjalan menuju kursi panjang di taman. Aku duduk di samping Zafar yang kini tengah memakan kue ulang tahunku.

"Kuenya enak, beli di mana?"

"Bukan aku yang beli, tapi Feby dan yang lain."

Zafar mengangguk mengerti. "Oh. Kamu ulang tahun yang kelima belas, kan?"

"Iya."

"Oke, aku punya hadiah untuk kamu." Kemudian dia mengambil sesuatu dari saku celananya, yang ternyata adalah ponsel genggam.

"Kok? Bukannya tidak boleh memegang ponsel ya, selama di asrama?"

"Aku tahu, tetapi aku sudah diberi izin dan ini bagian dari hadiahmu."

Aku mengerutkan alis bingung, memerhatikan Zafar yang sedang menghubungi seseorang. Begitu terhubung, Zafar langsung memiringkan ponselnya dan memberiku ruang untuk masuk ke dalam kamera. Itu video call. Dan aku sama sekali tidak menyangka, kalau di layar ponsel Zafar terdapat kedua orang tuaku dan kedua orang tua Zafar. Mereka berempat terlihat sangat akrab satu sama lain.

Aku tersenyum sempurna menatap kamera. "Ma, pa, Ralin kangen banget sama kalian."

"Mama juga kangen sama kamu, Lin."

"Kamu udah kangen saja sama kami, Lin. Padahal kan, minggu kemarin kamu sudah bertemu papa."

"Oh, jadi papa tidak kangen sama Ralin?"

"Sedikit."

Aku tertawa kecil. Papa selalu seperti itu. Tetapi aku tahu, papa pasti juga kangen dengan anak perempuannya. "Ralin tidak bisa dibohongi, pa."

"Tahu nih, padahal tadi papa menggerutu kesal karena Mike belum menelepon juga."

Zafar di sebelahku ikut tertawa kecil.

"Aku sudah menduga itu sih, ma. Selamat pagi Om Malvin, Tante Fellis," sapaku ramah.

"Selamat pagi, Ralin. Tante senang deh, melihat kamu dan Mike saling akrab."

"Pagi, Ralin. Om juga senang melihat kalian dekat, apalagi kalian satu tim kan, di pertandingan HC Looking for Talents?"

Aku tersenyum simpul.

"Halo Om Herman, Tante Caroline," kini giliran Zafar yang menyapa papa dan mamaku.

"Hei, halo Mike," papa dan mama membalas bersamaan.

"Oh iya, untuk pertandingan HC Looking for Talents kalian jangan berambisi untuk menang. Jangan biarkan ambisi itu menguasai diri kalian, ya, nak," kata papa serius sekali.

Aku dan Zafar saling tatap sebelum akhirnya mengangguk ragu. Karena bagaimana pun juga, alasan aku mengikuti pertandingan ini adalah untuk membantu kedua orangtuaku, dan tidak bisa kalau aku tidak memiliki ambisi untuk menang. Tetapi aku akan mencoba untuk menghilangkan ambisi itu dengan perlahan.

"Kamu tega sekali, Mike. Kamu menyapa orang tua Ralin, tetapi kamu tidak menyapa orang tuamu sendiri," kata Tante Fellis sedikit berlebihan.

Aku menahan senyum melihat ekspresi Zafar yang bingung. "Eh, ini kan acaranya Ralin, ma."

"Tetapi Ralin pasti tidak keberatan kalau kamu menyapa mama seperti Ralin menyapa kedua orang tuanya tadi." kata Tante Fellis sambil menatapku.

"Iya, Tan. Aku tidak keberatan, kok."

Enigma TersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang