Day 1 - Part 3
Setelah beberapa saat, Zafar dan Aldric menatapku sembari mengangguk. Aku tersenyum sempurna.
"Ya, tim 1 sudah memutuskan bahwa buku kuno itu adalah harta karunnya. Kita masih belum mengetahui apa alasan mereka menyimpulkan itu. Adakah di antara kalian ada yang ingin menjelaskannya?"
Aku mengangguk. Kameraman langsung menghadapkan lensa kamera yang ia bawa kepadaku, begitu juga dengan kamera kecil yang terbang, mengambil gambarku dari sudut yang lain. "Ini buku kuno dari tahun 1869. Dan buku ini ditulis dengan aksara lama. Sudah jarang atau bahkan sulit bagi kita menemukan buku ini dimana-mana. Ini buku langka dari masa lalu. Maka dari itu, ini adalah harta karun. Mungkin nilai jualnya tidak terlalu fantastis, tetapi sejarah yang mengikuti buku ini tidak dapat dibeli dengan uang. Karena sejarah berhubungan dengan waktu, dan siapa pun tidak ada yang bisa membeli waktu."
Semua orang yang berada di perpustakaan ini bertepuk tangan takjub. Aku menatap mereka satu per satu sambil terus tersenyum.
"Masuk akal sekali. Kalian masih memiliki waktu. Untuk tim 2 dan tim 3, kalian tidak akan menyerah kalah, kan? Jadi, segera bergerak mencari bagian kalian!"
Perkataan komentator tadi langsung membuat anggota tim 2 dan 3 berhamburan keluar perpustakaan.
"Kita gimana? Mau lanjut cari harta karun atau sudah?" tanyaku.
"Masih ada waktu dua puluh menit lagi. Kita lanjut cari aja. Kalau kita bisa menemukan satu lagi, besar kemungkinan kita untuk menang," ujar Aldric.
Zafar mengangguk setuju. Aku pun sama. Maka, tanpa membuang waktu kami bertiga langsung berlari menuju ruang musik. Itu satu-satunya ruangan yang belum kami kunjungi.
Begitu sampai di depan ruang musik, pintu sudah tidak terkunci. Kondisinya sama seperti ruang perpustakaan tadi. Terkadang, jika aku menemukan awal yang sama dengan sebelumnya, aku selalu berpikir bahwa akhirnya akan sama pula. Misal, tadi kami memasuki ruang perpustakaan yang tidak terkunci dan kami berhasil menemukan harta karun. Nah, siapa tahu, di ruang musik juga akan seperti itu. Karena ruang musik ini tidak terkunci, awal yang sama dengan ruang perpustakaan. Semoga akhir yang sama pula yang akan kami dapatkan.
Aku menatap sekeliling. Ruang musik ini terlihat sama saja seperti kemarin. Tatanan alat musiknya pun sama. Aku menyentuh berbagai alat musik yang bisa kujangkau. Zafar malah membuka tutup piano dan memainkannya sebentar. Permainan pianonya tidak sebagus Aldric, tetapi lumayan untuk mengisi kekosongan yang ada.
"Bosen banget, Zaf? Sampai harus main piano," ujar Aldric seperti meledek yang sedang memegang biola.
Zafar tidak memedulikan itu.
Aku justru tertarik dengan biola yang dipegang Aldric. "Kamu bisa bermain biola, Al?"
"Bisa, tetapi masih harus banyak belajar."
"Boleh bermain untukku?"
"Tentu."
Tetapi Zafar malah mempercepat tempo bermain pianonya. Wajahnya tertekuk. Ia terlihat seperti tidak senang dengan situasi. "Zaf, bisa berhenti dulu, tidak? Aku ingin mendengar Aldric bermain biola."
Zafar mengakhiri permainannya dengan kesal. "Silakan." Lalu ia berdiri dan mulai berkeliling memerhatikan.
Aldric menggeleng. "Dia sepertinya iri, permainan pianonya tidak kamu pedulikan. Kamu justru memintaku bermain biola."
"Eh, memang Zafar bermain piano untuk menarik perhatianku?"
"Tentu saja, Lin. Kita berdua tidak pernah tahu, kan, kalau dia bisa bermain piano? Dia ingin kamu bertanya basa-basi lalu memujinya. Namun apa daya, realita sangat kejam padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma Tersembunyi
Teen FictionSejak keikutsertaan Ralin dalam pertandingan HC Looking for Talents yang terkenal dan berlokasi di sekolahnya, ia menjadi terjebak dalam sebuah Kelompok Pejuang Keadilan yang disingkat KPK. KPK memiliki tujuan untuk mengungkap enigma yang telah dima...