Day 12 - Part 3
Saat menginjakkan kaki di ruang makan, aroma masakan yang menggugah selera masuk ke dalam indra penciumanku dengan elegan. Aku melihat Kak Erik, Kak Daran, Zafar, Aldric dan Frey sudah duduk rapi di kursi. Tatapan mereka sudah seperti kucing yang ingin menggondol ikan, tetapi takut karena ada manusia yang menjaganya.
"Nala sama Valerie mana? Kok lama banget?" tanya Kak Daran.
"Masih merapikan barang di kamar, kak," jawabku.
"Rajin banget, ya. Padahal kita tidak lama menginap di sini. Kalau aku sih, tidak perlu dirapikan begitu," komentar Frey.
"Memangnya salah membuat diri sendiri nyaman dengan menata perlengkapan di tempat yang sesuai?" tanya Feby mengejek.
Frey hanya mengangkat bahu.
Jalan pikiran perempuan dengan laki-laki memang tidak bisa disamakan. Hal inilah yang terkadang bisa menimbulkan masalah kecil dalam suatu hubungan. Tetapi, bukankah lebih baik seperti itu? Daripada sebuah hubungan hanya diisi dengan kata setuju yang padahal diam-diam menyimpan keki dalam hati. Eh, kok aku jadi membahas soal hubungan?
Feby duduk di kursi samping Frey. Dan aku duduk tepat di hadapan Feby, samping Zafar. Di atas meja makan sudah tersedia lauk pauk yang berhasil membuat air liur menetes. Ada nasi putih yang uapnya masih terlihat samar-samar, ayam bakar lengkap dengan lalapan dan tahu tempe goreng yang terlihat sangat menggugah selera.
Belum lama aku duduk, terdengar dering ponsel yang berasal dari sakuku. Begitu dilihat, ternyata dari mama. Ah, iya! Aku lupa mengabari mama. "Sebentar ya, aku izin angkat telepon. Kalau sudah lengkap, kalian makan duluan saja."
"Oke, Lin," balas Feby.
"Halo, Ma."
"Hai sayang, bagaimana? Sudah sampai?"
"Sudah, Ma. Maaf, Ralin lupa kasih kabar."
"Lain kali jangan sampai lupa lagi ya, Mama di sini cemas menunggu telepon kamu."
"Iya, Ma."
"Sekarang kamu lagi di mana? Tempat berlatih kuda, kah?"
"Tidak, Ma. Ralin masih di vila, lagi mau makan siang."
"Oh, berarti Mama ganggu, ya?"
"Makan siangnya belum mulai, Ma. Masih menunggu yang lain."
"Kamu makan siang pakai apa, Lin?"
"Ayam bakar."
"Wah, enak dong! Kamu makan yang banyak, ya! Jangan sampai sakit, jaga kesehatan. Jadwal kegiatan kamu beberapa hari ke depan itu padat."
Aku merekahkan senyum. Mama selalu saja seperti ini. "Siap, Ma."
"Ini Papa mau ngomong sama kamu."
"Halo, Pa?"
"Halo, Lin. Nanti jangan lupa kirim foto-foto kamu di sana, ya. Papa mau pamer sama rekan kantor Papa."
"Mama juga, Lin. Jangan sampai lupa, ya!"
Aku tertawa kecil. "Iya, Ma, Pa. Nanti pasti Ralin kirim. Sudah dulu, ya. Takut yang lain masih menunggu Ralin."
"Iya sayang, kamu baik-baik di sana."
"Iya, Pa. Bye! Love you!"
"Love you too!"
Setelah itu sambungan telepon terputus. Perasaanku menjadi lebih riang setelah bertukar kabar dengan mereka. Ternyata benar ya, bahagia itu sederhana.
Aku langsung duduk di kursi ketika tiba di meja makan. Dan benar saja, mereka masih menunggu kehadiranku. "Kenapa ditungguin? Harusnya kalian duluan saja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma Tersembunyi
Teen FictionSejak keikutsertaan Ralin dalam pertandingan HC Looking for Talents yang terkenal dan berlokasi di sekolahnya, ia menjadi terjebak dalam sebuah Kelompok Pejuang Keadilan yang disingkat KPK. KPK memiliki tujuan untuk mengungkap enigma yang telah dima...