BAB 47

5 0 0
                                    

Day 14 | Part 2

Ternyata lasagna di restoran ini adalah lasagna terbaik yang pernah aku makan seumur hidupku.

"Lin, pilihanmu memang tidak pernah mengecewakan!" ujar Feby.

"Maksudnya?" bingung Valerie yang ada di antara aku dan Feby.

"Lasagna ini kan pilihan Ralin, dan rasanya enak banget! The best deh!"

Aku tersenyum.

"Sepertinya memang semua makanan di resto ini enak deh, apalagi kita makan masakannya orang Italia langsung!" komentar Kak Erik.

"Setuju!" timpal Aldric.

Sepuluh menit kemudian, makanan kami sudah tandas seluruhnya.

Pak Jack datang menghampiri. "Setelah sarapan, kalian bebas mau melakukan apa pun dengan syarat tetap berada di sekitar hotel. Karena kalian baru mendapat izin untuk keluar dari hotel esok lusa, setelah pertandingan selesai. Paham?"

Kami bersembilan mengangguk.

"Kalau ada yang ingin meninggalkan ruangan ini, silakan." Setelah mengatakan itu, Pak Jack kembali ke mejanya.

"Lin, temani aku ke bawah, ya?" pinta Zafar tanpa melihat situasi. Membuat hampir seluruh orang yang duduk satu meja denganku berdeham kencang.

"Ayo Lin, dijawab. Anggap aja kami semua nih lalat!" goda Kak Daran.

Aku mengangguk malu-malu. Zafar yang melihat itu merespon dengan anggukan kepala dan berdiri. Aku mengikutinya dari belakang, langkah Zafar melambat seperti memberi waktu lebih untukku mengimbangi langkahnya. Kini kami berjalan bersisian dan langkah kami terhenti di depan lift.

Zafar menekan tombol lift dan beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka menampilkan seorang nenek yang tadi kami antar menuju lantai 7 bersama laki-laki berwajah khas Italia yang sepertinya seumuran denganku dan Zafar. Tidak ada kata atau kalimat yang terucap di antara kami selain senyum dan kepala mengangguk sebagai bentuk sopan santun.

Begitu memasuki lift, aku berucap, "Itu nenek yang tadi, kan?"

Zafar mengangguk ragu. "Iya."

"Berarti dia tidak tinggal sendiri di sini," kataku.

"Dari sikap dia yang tidak mengerti cara menggunakan lift pun sudah terlihat kalau dia memang tidak tinggal sendiri."

"Iya juga, ya." Aku memerhatikan layar yang menampilkan lantai yang satu per satu kami lalui. "Kita mau ke lantai berapa?" tanyaku yang tadi tidak melihat angka berapa yang Zafar tekan.

"Rooftop."

"Seriously?"

"Why?" bingung Zafar.

"Kamu yakin mau ke rooftop?"

"Memangnya kenapa?"

"Ini kan hotel bintang lima, bukan sekolah. Bagaimana kalau rooftopnya sudah dipesan seseorang untuk mengadakan acara?"

"We will see later," jawab Zafar santai.

Ketika keluar dari lift, aku melihat pintu untuk menuju rooftop dijaga oleh dua orang yang sepertinya karyawan hotel. Dari jendela yang transparan pun aku dapat melihat kalau di luar sana beberapa karyawan hotel tengah sibuk mendekor ruangan. Berarti, dugaanku sejak awal memang benar. Zafar menyengir menatapku.

Salah satu karyawan hotel yang menyadari kedatangan kami menghampiri. "Excuse me, why are you here?"

Aku tersenyum canggung. "Sorry, we didn't know that this rooftop is not a public place."

Enigma TersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang