BAB 8

22 11 8
                                    

"Zafar!" bentakku kesal.

"Kenapa?"

"Kamu yang kenapa! Harus banget bicara seperti itu? Kamu tidak punya sopan santun sama sekali."

Zafar mengangkat bahu, merasa tidak peduli. "Aku hanya mengetes bagaimana cara Kak Sabrina mendampingi kita. Sepertinya dia tidak terlalu piawai untuk menjadi penanggung jawab tim ini."

"Astaga! Tadi tidak serius? Suasananya sudah panas dan sangat mencekam, Zaf. Dan kamu bilang itu hanya mengetes? Itu adalah suatu hal yang seharusnya tidak perlu kamu lakukan! Karena kamu hanya perlu percaya, dia sudah berpengalaman dalam hal ini. Dia senior kita."

Aku mengangguk setuju dengan perkataan Aldric. "Kamu harus minta maaf kepada Kak Sabrina. Sekarang!" tegasku.

"Setuju," balas Aldric.

Zafar mengangguk pasrah. "Iya, aku kejar dia sekarang juga." Kemudian Zafar berlari keluar ruangan.

Jantungku hampir copot, takut sekali Kak Sabrina mempermasalahkan hal ini dengan serius. Semoga Zafar berhasil mendapat maaf Kak Sabrina.

Lima menit yang terasa sangat panjang kemudian, Zafar kembali wajahnya sumringah.

"Bagaimana? Kak Sabrina memaafkanmu?" Aldric yang bertanya.

"Dia memaklumi itu, santai saja. Sekarang, karena dia sudah pulang, kita juga boleh pulang ke asrama. Bus pertama akan tiba tiga menit lagi. Mari bergegas, sebelum penuh."

Aku mengangguk lega. Syukurlah. Untung Kak Sabrina tidak menganggap serius perkataan Zafar. Kak Sabrina memang keren sekali, kalau aku yang berada di posisi Kak Sabrina, ditekan seperti itu oleh orang yang baru dikenal, aku akan memberikan hukuman langsung kepada Zafar supaya ia jera.

Kini aku sudah berada di halte sekolah. Keadaannya cukup ramai. Kenapa tidak ramai sekali? Mungkin mayoritas siswa masih ingin berada di sekolah, bermain, bercanda dan berencana kembali dengan bus kedua atau malah ketiga.

Aku memasuki bus ketika sudah tiba. Aku melihat Feby sudah duduk tak jauh di depanku. Aku segera melangkah menuju kursinya. Semoga ia sudah tidak marah. Namun yang terjadi malah diluar dugaanku. Di depan mataku, Feby menawari Nala untuk duduk di sampingnya. Ia bersikap seolah aku tidak ada di sana. Ini sungguh menyesakkan bagiku.

Aku segera mencari kursi kosong lainnya. Ada satu lagi, tiga baris di depan Feby. Dan itu ditempati oleh laki-laki. Baiklah, daripada aku berdiri, lebih baik aku duduk di sana. Ternyata itu adalah Zafar.

Aku berdeham. "Boleh aku duduk di sini?"

"Tentu saja," balasnya.

"Terima kasih," kataku sambil tersenyum.

"Feby masih marah?"

"Mungkin. Aku sangat merasa bersalah."

"Kamu tidak salah. Kamu hanya mengikuti instruksi yang tertulis di kertas itu. Dan kamu memiliki hak untuk bercerita kepadanya atau tidak."

"Ini tidak sesimpel pikiranmu, Zaf."

"Maksudnya?"

"Aku dan Feby sudah biasa bercerita tentang apa pun. Kami juga pernah saling berjanji untuk cerita sesuatu, walau itu bersifat rahasia. Itu cara kami sebagai sahabat untuk saling membantu."

Enigma TersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang