Page-2

1.5K 116 4
                                    

2. Pemilik Saputangan Tergenggam.

Andra mengusap lembut saputangan yang sedang ia pegang. Lelaki berkacamata itu tersenyum tulus. Tatapannya tidak teralihkan meskipun sedang melewati jalanan dengan relief bebatuan. Ia sama sekali tidak peduli akan keadaan sekitar. Masih tetap menilik seakan bertelekomunikasi dengan pemiliknya dari kejauhan.

“Barang-barang sudah dibawa semua, kan?” tanya wanita dengan rambut pendek terurai yang tidak sedikit dihiasi uban. Membuka tas kulit hitam berukuran sedang seraya memeriksa isinya secara keseluruhan.

“Sudah.” Suara berat sedikit serak menjawab.

“Masalahnya jauh kalau harus kembali lagi. Jalanan pun rusak parah. Pastikan benar-benar tidak ada barang penting yang tertinggal, ya.”

Alih-alih ikut memeriksa perlengkapannya, Andra malah tersenyum simpul dengan tetap memandang secarik kain yang ia bawa. Terlipat berbentuk segi empat kecil seperti saat kali pertama anak itu berikan padanya.

Manis. Entah masanya, atau bahkan orangnya. Selalu melekat di kepala hingga beberapa tahun belakangan yang membuatnya dirundung gelisah begitu dalam. Rasa ingin bertemu bergejolak lagi dan lagi. Teriris berjuta kilometer jarak dan tersisihkan per-zeptosecond waktu. Sepertinya akan sulit untuk mencari keberadaannya saat ini, nanti, atau bahkan tidak akan bertemu lagi.

Tapi, bukankah Andra sudah mengucap janji untuk menemuinya sesaat sebelum melenggang pergi?

Dan ... ya. Lelaki itu telah mengingkari seutas janji sebab di hari berkabung ia tak memiliki waktu untuk singgah ke tempat yang sama.

“Kapan ke Jogja?”

Sebuah pertanyaan terlontar tanpa mengalihkan pandangan. Seperti melantur, namun berkosakata penuh makna. Tidak berniat bergumam, dan entah ditujukan pada siapa.

“Sayang ... kamu tahu sendiri kan nenek kamu sudah meninggal dunia? Kita mau apa lagi ke sana? Alasan kita kan karena masih ada nenek yang harus kita rawat semasa hidupnya.”

“Jadi, kalau tidak ada nenek kita tidak akan pernah pergi ke sana?” tanyanya seraya menegakkan tubuh, sedikit menyerong menghadap sang ibu. Terlihat jelas kegelisahan menyertai ucapannya itu.

“Memangnya kenapa kamu mau ke sana?” tanya Via.

Mengembuskan napas panjang seraya kembali bersandar pada kepala kursi di belakang. Gemuruh di dada sudah begitu menantang, namun sebisa mungkin ia kendalikan. “Aku ingin tinggal di sana.”

“Tapi papa ada pekerjaannya di sini, Sayang.”

“Kenapa harus selalu mengikuti papa? Ma, aku sudah besar. Sudah enam belas tahun. Kalau Mama tidak bisa menemani aku di sana, aku bisa kok tinggal sendirian!”

Via memijit pangkal hidungnya pelan. Membuka sebuah botol minyak dan menghirupnya perlahan. Menghela napas mencoba untuk bersabar menghadapi sikap putra tunggalnya yang semakin memaksa untuk tinggal di Jogja, entah kenapa.

“Kamu minum obat dulu, ya.”

“Tidak.”

Pria dengan kumis lumayan tebal memperhatikan pantulan gambar anak dan istrinya melalui kaca oval terpasang horizontal di atas kepala. Masih terdiam enggan untuk menimpali yang sedang terjadi.

LA-RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang