Page-24

466 60 4
                                    

24. Lesakan Trauma.

Ruangan ber-AC dengan ukuran lumayan besar ini menjadi saksi diskusi kelima guru di dalam. Di depan meja persegi mereka memberi pendapat dan mempertimbangkan secara bersamaan untuk menemui titik terang.

"Sudah saya bilang kan Bu Dian yang terhormat. Anak ini memang harus dikeluarkan dari sekolah. Karena dia bisa memberi pengaruh buruk untuk teman-temannya yang lain," tutur Pak Hans, menatap guru muda tersebut dengan malas.

Bu Dian hanya terdiam, melirik Lara yang duduk tepat di samping bangkunya. Dengan wajah lusuh dan bibir pucat tak terawat, gadis itu melamun lesu di tempat. Pandangannya terlihat kosong ke depan. Bahkan telinganya pun sama sekali tidak mendengarkan apa yang sedang kelima guru itu bicarakan.

"Coba Ibu ingat-ingat kembali. Berapa fasilitas yang sudah dia rusak selama bersekolah di sini? Bahkan kedua orang tuanya pun tidak bisa bertanggung jawab. Setiap kali mendapat panggilan dari sekolah, tidak pernah ada yang datang. Jangankan untuk mengganti rugi, meminta maaf pun tidak." Masih dengan rasa emosi, Pak Hans mengulas lagi.

"Bagaimana mau datang ke sekolah Pak Hans, asal-usul pasti anak ini saja kita ndak tau. Alamat tempat tinggalnya ndak jelas. Pantaslah dia kayak gitu," timpal Pak Bambang yang juga geram.

"Kenapa sekolah bisa sampai kebobolan anak semacam ini, sih?" tanya Bu Mei-salah satu guru BK di SMA Lentera 02 yang juga ikut serta dalam diskusi kali ini. Guru berambut pendek sebahu itu memperhatikan Lara dengan pandangan tidak suka.

Bu Dian menghela napas, "Sebenarnya kita tidak bisa melihat hanya dari satu sisi saja. Lara seperti ini pasti juga karena ada sebabnya."

"Sebab apa yang Ibu maksud? Apa karena anak ini punya penyakit mental? Kan sudah saya bilang dari satu tahun yang lalu, keluarkan dia dari sekolah, tetapi tidak pernah didengarkan," sewot Pak Hans.

"Bukan begitu, Pak. Saya akui dia memang memiliki penyakit mental, tetapi saya yakin dia tidak gila. Pasti ada orang-orang yang sengaja mengganggunya sampai dia benar-benar terlihat gila. Seperti ... pembullyan contohnya."

"Halah, Bu Dian ini ngomong apa, toh? Masih percaya saja sama bully-bullyan. Jaman wes modern, ndak usah terlalu berlebihan lah belain dia."

"Saya tidak membela dia, Pak. Tapi ini fakta, pembullyan masih ada di sekolah kita."

"Apa Ibu memiliki bukti?" tanya Pak Bima, selaku kepala sekolah.

"Apa ini belum cukup untuk dijadikan bukti?"

Bukannya menjawab, Bu Dian malah balik bertanya. Hal itu lantas memancing tawa Pak Bima disertai sedikit cemooh dari guru-guru lainnya.

"Bukti apa, Ibu? Bukankah yang kita lihat tadi bahwasanya dia sedang mengamuk kepada salah satu siswa teladan kita? Pun sebelumnya pernah terjadi. Dia mengamuk seperti ini, bahkan kepada teman perempuannya sendiri."

"Iyo. Apalagi Boni itu anak baik-baik. Ndak mungkin dia mengganggu teman-temannya. Dia juga siswa berprestasi yang selalu mengikuti lomba puisi." Pak Bambang mulai menjabarkan tentang sosok Boni. "Sudahlah, Bu. Ndak usah belain dia terus."

"Ibu Dian ini sudah seperti melindungi anaknya saja," tutur Pak Hans.

"Tapi saya yakin, Pak. Ini bukan sepenuhnya kesalahan dia. Api tidak mungkin menyala jika tidak ada koreknya, kan? Pasti ada yang salah juga sama Boni."

LA-RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang