71. Kecewa Berkelanjutan.
Mata sayu tanpa penghalang lensa memandang lama pada langit-langit ruangnya. Pikiran yang semula memusat kini pecah dan berhambur menjadi beberapa bagian gelisah. Lelaki itu bahkan sama sekali tak mendengar perbincangan dari orang-orang sekitar, sebab benih demi benih hasil pemikiran tengah sibuk bertengkar.
Andra tahu, dan sebelumnya pun ia memang harus sadar bahwa penyakit yang diderita mana mungkin telah hilang dalam sekejap mata. Mereka hanya mencoba menenangkan melalui kebohongan yang terkesan memuakkan. Kebohongan yang lagi-lagi menusuknya dari belakang.
Kejadian ini bermula di penghujung senja kala Andra pulang ke rumah dengan kondisi tubuh demam tinggi disertai mimisan yang belum juga mereda. Tepat di mana hari ia menyaksikan cintanya berkhianat dengan seseorang yang sudah ia anggap sebagai sahabat.
Dokter Pani berkata bahwa Andra hanya mengalami demam biasa, teringat dari seberapa banyak ia terkena angin malam dan mengabaikan obat-obatan. Ya, Andra benar-benar tidak mempertimbangkan itu semua. Hingga akhirnya tinggallah ia sendiri di dalam kamar, sementara mereka sudah melanjutkan perbincangan di luar.
Awalnya Andra merasa sangat percaya. Tak apa, hanya demam biasa, pikirnya. Namun ketika ia menarik selimut dan hendak tertidur, sebuah benda pipih menyala-nyala di atas nakas hingga mampu memancing atensinya. Lelaki itu lantas mengurung niat dan beralih menjamahnya. Astaga, ponsel Via! Wanita itu berbincang hingga melupakan letak ponselnya sekarang.
"Ma! Ada yang telepon!" pekik Andra dari atas kasur.
Dahinya mengernyit saat tak mendapat sahutan ditambah orang di seberang yang sudah sibuk menyambungkan panggilan. Mau tak mau Andra pun menurunkan tubuh dari atas kasur dan berjalan keluar untuk memberikan ponsel yang ia genggam.
"Ini akan sangat berbahaya jika dia terus-menerus tidak meminum obatnya secara rutin."
"Saya sudah bersikeras Dok agar dia mau meminum obat dengan upaya mengganti bungkusan dan berkata bahwa itu hanya vitamin penambah energi saja. Sering juga saya mencampuri obat tersebut di menu makanannya. Tapi sepertinya dia memang sudah lelah dengan pil-pil tersebut."
"Ya, saya dapat merasakan itu semua. Dia pasti ingin beristirahat dari itu semua. Hidup normal seperti teman-temannya tanpa harus repot-repot menelan obat yang jumlahnya tak terkira."
"Lalu bagaimana, Dok? Saya ingin anak saya benar-benar sembuh."
"Sebelumnya, kita sudah melakukan operasi sewaktu usianya masih kanak-kanak, tapi sepertinya semakin ke sini kondisi Andra semakin parah. Terlebih dari dia yang tak lagi mau menjaga kesehatannya sendiri."
"Apa kita harus melakukan operasi tambahan, Dok?"
"Kemungkinan besar hal itu harus dilakukan guna mencegah terjadinya penyakit yang lebih berat dan berakibat fatal. Kami akan melakukan perbaikan tambahan pada dinding aorta yang lemah."
Tanpa sadar Andra meremas ponsel yang ia pegang, kedua matanya tetap lurus memandang ke depan.
"Den, makan dulu nggeh," tegur Bi Sutik yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping.
Lelaki itu menoleh, memandang menu makan malam di atas nampan yang wanita itu bawakan. Nafsunya benar-benar sudah hilang. Pikirannya mulai berantakan. Andra teramat kecewa pada kedua insan di depan.
"Bi, tolong berikan ini sama Mama," sahut Andra memberikan ponsel Via. "Makanannya taruh di meja belakang saja, saya mau ke kamar."
"Loh? Den?" panggil Bi Sutik yang sudah tak dihiraukan. Lelaki itu melangkah cepat dan menutup pintu rapat-rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LA-RA
Teen Fiction[Yang sedang ingin menangis, mari membaca bersama.] [Yang sedang menggalau akan cinta, mari resapi setiap kata.] =================================================== Tentang seorang gadis berpenyakit mental yang juga menjadi target perundungan orang...