59. Nostalgia Terbuka.
"Alana?"
Matanya terbuka. Di bawah sana, di antara kedua lututnya, gadis itu menyimak dengan saksama akan suara yang baru saja menggema di telinga, memanggil bingung sebuah nama. Cukup asing, bahkan terdengar mustahil. Sebab, sudah sekian lama ia tak mendengar rentetan huruf berpadu menjadi satu membentuk rangkaian nama yang begitu indah. Seolah amnesia, Lara pun hampir melupakan nama aslinya. Nama yang ia ubah dalam dua suku kata dengan makna jauh berbeda.
Dengan segera, ia mengangkat kepala. Berlanjut memfokuskan pandangan melalui kedua mata yang masih berkaca. Tepat di hadapannya berdiri seorang pria dengan tubuh tinggi serta bahu lebar mengenakan kaus oblong berpadu celana dasar hitam kelonggaran dan tali rafia senantiasa menjadi alternatif ikat pinggangnya.
Setelah menangkap bagaimana rupa dari sosok tersebut, Lara pun mendelikkan mata, tersentak tiba-tiba. Gadis itu lantas beringsut mundur berupaya untuk menjauhi pria pemilik sorot tajam mematikan. Pria yang beberapa tahun belakangan menjadi sosok yang paling ia hindari. Pria yang memusat dalam titik kerinduan, namun enggan untuk ia temui sekarang.
"Kamu masih hidup?" Lagi, suara bariton di depan kembali menghanyutkan.
Alih-alih menjawab, gadis itu malah menoleh ke sana kemari memantau situasi. Dan sialnya, keadaan memang teramat sepi. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua, lalu ... satu mobil sedan berwarna biru bulan baru saja melintas di hadapan.
Sebenarnya Lara ingin sekali berlari, namun pria ini sudah lebih dulu bersimpuh dan menangkup wajahnya yang pilu. Sorot elang berubah drastis menjadi sendu, bagaikan listrik yang menghantarkan energi ke sekitar, lalu menyengat keadaan. Lara merasa bahwa ia bukan hanya terjebak secara fisik saja, tapi juga psikisnya.
"Ini Ayah!" jelasnya, kalau-kalau Lara telah melupakan jati dirinya.
"Jadi ... selama ini kamu pergi ke Jakarta? Kamu gak bilang sama Ayah? Dan kamu merekayasa kematianmu bertahun-tahun lamanya?"
Detak jantungnya seolah berhenti seketika. Lara sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pria ini akan kembali terjangkau oleh indra penglihatan. Tubuhnya menjadi kaku, aliran darahnya membeku, pun lidahnya teramat kelu. Lara sadar ini berlebihan, namun rasa takutnya jauh melambung besar.
Bola matanya bergerak ke samping untuk memperhatikan kedua tangan kasar berwarna cokelat kegelapan.
"Ini di mana Ayah?"
"Udah, ikut aja, gak usah banyak tanya!"
"Tapi Ayah, Lana mau pulang, mau mengerjakan PR matematika yang Bu Lisma berikan."
Pria itu melepas tangan remaja putri berusia sekitar tiga belas tahun di sisi, berlanjut mengacak-acak rambut berdominasi helaian putih secara kasar.
"Arghhh! Apa sih kamu?! Yang ada di otak kamu itu cuma belajar-belajar-belajar ... aja! Kali-kali bantu gue cari duit ngapa?! Biar kita bisa makan!"
"Tapi nanti aku dihukum Bu Lisma kalo gak ngerjain PR-nya, Yah."
"Heh! Makanya gak usah pake acara sekolah-sekolah segala! Ribet tau gak! Lagian gak ada hasilnya juga kamu sekolah. Ngabisin duit aja!" tegasnya berlalu pergi.
Anak itu masih terdiam. Perkataan ayahnya sangat bertentangan dengan pemikirannya sekarang. Di usia yang masih teramat muda, dirinya sungguh terobsesi oleh cita-cita. Namun lagi-lagi, dana yang harus menjadi penghalangnya. Alana memang bukan tipikal anak yang pintar-pintar amat di sekolah, tapi setidaknya ia akan berusaha untuk mendapatkan beasiswa sebagai jalan untuk menggapai impian.
KAMU SEDANG MEMBACA
LA-RA
Teen Fiction[Yang sedang ingin menangis, mari membaca bersama.] [Yang sedang menggalau akan cinta, mari resapi setiap kata.] =================================================== Tentang seorang gadis berpenyakit mental yang juga menjadi target perundungan orang...