Page-75

1K 55 19
                                    

75. Pertumpahan Darah.

Napas lelaki itu terengah, tercekat sementara. Mendengar pintu yang terus-menerus digedor kuat membuat Lara tersentak, lalu mengerjapkan mata dengan kepala terasa berat. Sementara itu, lelaki tadi langsung mengusap-usap rambutnya berupaya menenangkan.

"Keluar sekarang atau kalian akan kami cincang habis-habisan!"

"Ingat, siapa pun yang berkhianat harus siap dimutilasi hidup-hidup!"

"Peluang kalian untuk selamat sangat kecil! Lebih baik menyerahkan diri sebelum kami beraksi!"

Itu suara salah seorang antek Yungi, tegas dan menggema serta menusuk di telinga. Bulir dingin semakin marak membasahi dahi seiring dengan detik jam yang terus berputar. Barang sesaat tak membiarkannya untuk tenang.

Sungguh, Lara tak pernah bermimpi jika Amara masih hidup dan menyimpan dendam sedalam ini. Satu jiwa yang memiliki sifat berbeda, benar-benar terlihat bukan seperti sang kakak yang selalu mencairkan suasana saat kesedihannya singgah seperti sedia kala. Amara ... sudah sangat berubah. Bahkan Alana sudah tak mengenali lagi siapa dia.

Lelaki itu lantas berjalan mendekati jendela, melalui jajaran rak tinggi berisikan botol minuman kosong, menyibak gorden lalu merobek kain di bagian paling bawah menggunakan kedua tangannya. Ia mengurung niat kala hendak memutar tubuh, berlanjut mendengarkan dengan saksama akan apa yang gadis itu bicarakan di belakangnya.

"Ma ... Alana dijual lagi sama ayah," seraknya membuka suara. "Alana capek, Ma. Alana nyerah, ya?"

Usai mengirim pesan suara kepada sang ibu, Lara langsung melamun dengan tubuh terpaku. Lara tersentak saat lelaki tadi hendak meletakkan sepotong kain guna mencegah aliran darah di area leher yang terluka. Gadis itu beringsut menjauh, tak membiarkan lelaki asing itu sekalipun menyentuh bagian tubuh. Mengerti akan apa yang mengusik pikiran, ia lantas membuka topi hitam yang dikenakan di bawah pencahayaan remang.

Cukup membuat Lara terkesiap di tempat. Gadis itu memperhatikannya sedikit lebih lama seraya terus memfokuskan mata. Lelaki ini ... "K-Kevin?"

Mengangguk setuju, Kevin langsung menarik tangan Lara yang terluka dan mengikat kain gorden di sana. Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari sela bibir pucatnya. Lelaki ini seolah telah kehilangan cahaya pada permukaan wajah, tampak begitu lesu dengan aura padam entah kenapa. Berbeda dengan Lara yang tengah sibuk bertanya-tanya, Kevin lantas ikut duduk bersandar pada dinding berwarna kuning seraya menatap lurus menembus jendela kaca dan menyorot serius pada sang rembulan di pertengahan malam.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Lara yang sudah tak mampu menahan rasa penasaran. "Kev?"

"Lo beneran mau tau?" Kevin balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.

Lara mengangguk ragu-ragu. "Iya."

Kali ini Kevin menolehkan kepala, menyorot dalam pada kedua manik mata Lara. Membiarkan udara sementara menghamburkan pertanyaannya. Dengan raut wajah datar juga pandangan tak mampu diartikan, Kevin menengguk ludah begitu payah. "Sebenarnya gue termasuk bagian dari mereka."

Lara refleks mengerutkan dahi, sama sekali tak mengerti akan apa yang tengah Kevin sampaikan. "Maksudnya?"

"Gue laki-laki gak bener, La."

"Kamu ngomong apa, sih?"

Lelaki itu menghela berat sebelum menjawab. "Gue kerja haram. Mengambil organ dalam bayi sampai dengan anak-anak. Memperjual-belikan wanita bahkan sesekali merusaknya." Sungguh, siapapun tolong jelaskan pada Lara bahwa Kevin hanya sekadar bercanda. Ini tidak seperti yang ia dengar, kan?

"Dan gue salah satu perantara Yungi untuk balas dendam ke adiknya, yang baru-baru ini gue tau kalo Alana itu ternyata lo."

Tak mampu berkata-kata, Lara hanya menatapnya kecewa. Gadis itu menggigit bibir bawah seraya menggeleng-gelengkan kepala yang sekali lagi berusaha menolak sebuah fakta. Lain halnya dengan Lara, Kevin malah terkekeh samar di sana. "Gue memang sebrengsek ini kalo lo mau tau."

LA-RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang