36. Satu Nama.
"Sudah sejauh mana?" tanya seorang pria berpakaian serba hitam dengan tato di sebagian wajah sangar. Cukup mengerikan, namun tak satu pun yang mempermasalahkan, atau memang tidak ada yang berani mengomentari penampilan buruk dari ketua komplotan pekerja haram.
Dalam sebuah ruang temaram, gadis berambut panjang itu menoleh pada sang pencipta suara, lalu menghela napas gusar sesak akan dendam. Sepertinya tak perlu dijabarkan sebab siapa pun sudah tahu pasti sejauh mana prosesi penghancuran jati diri dari orang yang ia benci.
Pria tadi memilih duduk di seberang meja persegi. Tangannya terangkat untuk menyodorkan sebuah foto dengan sedikit mengetuk menggunakan jemari. "Dia masih menjadi target utamamu, kan?"
Gadis itu menatap lekat-lekat, sorotnya menghunus tepat pada sebuah objek di depan. Sosok seorang gadis manis berpakaian sederhana dengan bunga kering tergenggam di kedua tangan.
"Abadi itu setelah mati," sinisnya. Gadis itu merampas selembar foto, lalu menjimpit menggunakan tangan kiri dengan korek sudah siap terapit. "Saya kembali untuk menyalin."
Secuil api sudah menyala lantas membakar foto yang langsung dihempas ke atas meja, sukses membuat abu pekat tergeletak tanpa gambaran tersisa, melenyapkan eksistensinya saat itu juga.
"Cukup diam, mainkan mental," sahut pria di seberang. "Alur permainanmu sedang berjalan, Sayang."
Gadis itu tersenyum miring, kemudian berlanjut memasukkan korek ke dalam saku kemeja hitam yang ia kenakan. "Panggung yang nyata akan segera dimegahkan, teriakan dan air merah adalah pertunjukan utama di pertengahan bulan purnama dalam tiga tahun lamanya."
Pria itu menaikkan sebelah alis disusul dengan seringaian panjang. "Mau tanggal berapa?"
"Tanggal di mana dia dilahirkan harus menjadi tanggal di mana dia dikebumikan," tegasnya tuntas.
🥀🥀🥀
Lara menutup rapat pintu rumahnya. Melepas kedua sepatu seraya berlari dengan terburu. Gadis itu menaiki anak tangga satu-persatu, membuka pintu kamar dan langsung melempar tasnya secara asal.
Malam ini keadaan rumah sedang kosong. Messy serta Jhops sudah pasti menemani Rena pergi ke luar kota untuk melaksanakan kompetisinya. Ya, dia sudah terbiasa ditinggal sendiri, bahkan dianggap tidak ada pun sudah menjadi santapan sehari-hari.
Bukannya bergegas membersihkan diri, Lara malah berdiri di depan cermin seraya memperhatikan wajahnya sendiri. Sejak Andra mengantarnya pulang tadi, senyumnya benar-benar tidak dapat terbendung lagi.
Tangannya meraba meja rias, mengambil sebuah gunting tajam dan meletakkannya di depan. Beralih memilah rambut yang dipisahkan menjadi dua bagian. Lara mulai mengguntingnya secara perlahan, berupaya untuk menghilangkan bagian yang bercabang.
Setelah selesai dengan aktivitas memotong rambutnya, Lara pun mengambil dua buah botol berukuran sedang. Bergeming sejenak untuk mempertimbangkan, lalu memilih botol di tangan kanan. Membuka tutupnya, dan memoles isi ke seluruh batang rambut kusam.
🥀🥀🥀
Kevin mengusap-usap kedua telapak tangan setelah merampungkan prakarya seharian. Matanya berbinar kala menatap hasil kerajinan dari rotan yang ia buat sendirian. Benar-benar tanpa campur tangan orang-orang sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LA-RA
Teen Fiction[Yang sedang ingin menangis, mari membaca bersama.] [Yang sedang menggalau akan cinta, mari resapi setiap kata.] =================================================== Tentang seorang gadis berpenyakit mental yang juga menjadi target perundungan orang...