Page-72

441 42 0
                                    

72. Kesempatan Terakhir.

Lara terjaga kala mendengar suara bising di koridor samping. Suara tangisan diiringi entakkan sepatu berhasil mengembalikan nyawanya secara utuh. Gadis itu mengerjap, memandang dengan yakin apa yang ia lihat sejak kali pertama membuka mata. Raut wajah Kevin yang tertidur pulas terpampang nyata di atas. Cepat-cepat Lara menggerakkan kedua bola mata untuk memantau situasi sekitar. Astaga! Lara tertidur di atas pahanya? Bagaimana bisa?

Gadis itu segera mendudukkan diri, menoleh kepada lelaki di sisi sembari menggeleng-gelengkan kepala tidak menyangka. Jauh di dalam lubuk hati Lara bertanya-tanya, Kevin tidak macam-macam kan kepadanya? Di koridor belakang memang begitu sepi, bahkan Lara yakin bahwa hanya ada mereka berdua di sini.

"TOLONG PANGGIL DOKTER PANI!!" Teriakan yang menggema berhasil menarik atensi.

Menyipitkan mata, Lara melihat Via yang tengah menangis hebat di ujung sana. Pak Nugi serta seorang pria terpantau gelisah sembari berlari menjauh dari mereka.

Kenapa?

Astaga! ANDRA?!

Lara langsung berdiri berniat untuk menghampiri, namun pergerakannya terhenti saat Kevin menarik lengan kiri hingga membuat gadis itu terjatuh di pelukannya lagi. Lara menatap dalam jarak begitu dekat yang bahkan tak memiliki sekat.

"Gue dingin ...," racaunya dengan kedua mata sama sekali belum terbuka. Tangannya membelai asal rambut gadis di dalam pelukannya.

Lara merapatkan gigi, geram sendiri. Gadis itu lantas mendorong kuat dada Kevin hingga membuatnya tersadar. Lara kembali berdiri ketika Dokter Pani beserta beberapa perawat sudah berlari melintas.

Rentang waktu dalam perjalanan menghampiri mereka, pintu pun langsung terbuka lebar bersamaan dengan brankar Andra yang segera dilarikan keluar. Dokter Pani serta beberapa perawat mendorong sedikit lebih cepat, membawanya menuju ruang ICU terdekat. Kevin melebarkan langkah, mengejar Lara yang sudah berlari mengikuti ke mana brankar Andra dibawa, ikut membaur di tengah beberapa sanak-saudara dengan raut khawatir tercetak jelas di wajah.

Sesaat setelah perawat terakhir masuk ke dalam ruang, pintu pun segera ditutup rapat, tidak memberikan peluang bagi Lara untuk mengikuti langkah mereka. Air matanya sudah mengalir gelisah. Menatap kecewa pada pintu kaca di hadapannya.

"Andra sayang ...," lirih Via tak tertahan.

"Den Andra yo Gusti ... nyapo toh cobaane seberat iki," tutur Bi Sutik.

Bayu menjambak helaian rambut kuat-kuat, bolak-balik berjalan di depan ruangan menegang. Kedua matanya memerah, tersirat begitu besar rasa bersalah. Beda halnya dengan Pak Nugi yang sudah banjir air mata, Bi Sutik masih sempat mengusap-usap punggung Via yang terduduk lemas di atas kursi bersama dengan Keshi.

"Tak Andla tenapa dibawa pelgi, Ma?" tanya seorang bocah kepada ibunya. Matanya berkaca-kaca, rasa bingung serta ketakutan dengan spontan menghampiri sesosok jiwa yang sama sekali tidak paham.

Wanita itu membelai puncak kepala anaknya dengan penuh cinta. "Kak Andra gak papa kok, Sayang."

"Tapi tadi tangana megangin dada, telus pas dipanggil ndak mau bangun. Tak Andla tidulna tok gitu? Ayis atut ...."

"Haris gak usah takut, ya. Kita kirim doa aja buat Kak Andra," sahut Keshi lagi.

"Tapi Tak Andla janji halus bangun, ya. Bial bisa tidun ama Ayis lagi di umah."

"Iya sayang ...."

Lara memundurkan langkah seraya mengepal kedua tangan yang sudah gemetar hebat di bawah. Kepalanya menggeleng tidak terima. Pikirannya sibuk mengecam bahwa dialah yang telah bersalah. Dadanya sesak seketika. Napasnya tercekat tiba-tiba. Lara memukul-mukul kepala menggunakan kedua tangannya.

LA-RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang