73. Pamit.
Di sini, di dalam ruang hampa yang sama sekali tidak pernah Lara duga bahwa Andra akan terbaring lemah bersama dengan beraneka kabel menempel di tubuhnya. Ditemani suara bising dari monitoring di samping. Disuguhkan tetesan air yang sedikit demi sedikit mengalir melalui selang infus. Kedua matanya terpejam sempurna. Terlihat damai dalam tidur nyenyaknya.
Lara menggenggam tangan Andra, mengangkat dan menciumnya sedikit lebih lama. Benar-benar menikmati kesempatan mereka dalam bersama. Kesempatan yang entah sampai kapan akan bertahan. Kesempatan yang kemungkinan besar tidak lagi datang. Kesempatan dari segala minimnya peluang. Kesempatan yang harus dimaksimalkan sebelum ada yang berpulang. Terlepas dari bagaimana mereka nanti, Lara hanya ingin memandang puas wajahnya saat ini.
"Kamu boleh marah sama aku, tapi tolong jangan pergi tinggalin aku."
Lara sadar bahwa Andra tidak akan mendengarkan segala penuturan yang ia lontarkan. Tapi Lara yakin, jauh di dalam sana hati Andra bergetar hebat merasakannya. Gadis itu beralih membelai rambut Andra dengan penuh cinta.
"Aku tau kamu capek, tapi tolong istirahatnya jangan lama-lama, ya. Masih banyak tempat wisata yang belum menjadi pelabuhan cinta kita. Masih banyak rangkaian kata yang harus aku dengar darimu. Ayo buka mata untuk memperkenalkanku pada dunia. Kamu bilang, kamu gak akan mengecewakanku, kan? Kamu bilang, kamu gak mau melihatku menangis lagi, kan? Kamu bilang, aku gak akan bisa melupakanmu, kan? Kamu bilang, kamu ingin aku selalu bahagia, kan? Ayo buktiin semua perkataanmu, Ndra ...." Lara menjeda kata, tak sanggup menahan air mata.
"Kamu boleh kok ngerangkul aku kapan aja, kamu boleh kok peluk aku selama yang kamu mau, kamu boleh kok bawa aku ke seluruh penjuru dunia, bahkan sekalipun kita gak kembali aku akan rela, asal kita tetap bersama-sama."
"Ndra ... aku butuh kamu, sungguh. Dari sekian banyak rumah yang menendangku keluar, cuma kamu satu-satunya yang membuka pintu lebar-lebar. Kamu tempatku pulang dari riuhnya badai menerjang."
Lara memeluk tubuh Andra yang sama sekali tidak merespons perkataannya. Gadis itu terisak hebat di sisi telinga. "Aku gak mau kehilangan rumah untuk ke sekian kalinya."
"Ajarin aku apa pun yang kamu mau, asal jangan tentang bagaimana aku harus hidup tanpamu ...."
"Jangan pergi, Ndra. Aku mohon ...."
Lara mengangkat kepala, memperhatikan setiap detail raut wajah lelaki yang masih belum membuka mata. Entah sedang apa ia di dalam mimpinya. Rasanya Lara benar-benar tidak terima jika Andra masih saja mengacuhkannya.
"Ndra, bangun ...," pinta Lara.
"Kamu ingat waktu kita berkunjung ke Situ Patenggang? Sebuah tempat yang memiliki arti saling mencari, dan aku menemukanmu yang dulu sempat pergi. Ayo kita ke Batu Cinta, aku janji akan tulis namaku dan kamu di sana biar cinta kita abadi selamanya. Aku mau mengitari Pulau Asmara berdua sama kamu aja. Kasih kesempatan sekali lagi untuk kita bersama. Aku mau memaksimalkan rangkaian cerita kita."
Lara merapatkan gigi, geram sendiri kala Andra masih terdiam di atas brankar. "Aku hitung sampai lima kamu harus bangun, ya ...."
"Satu ...."
"Dua ...."
"Ndra, kisah kita belum selesai, kamu tau itu?"
"Tiga ... bangun, Ndra ...."
"Em-pat ...."
"Ndra, aku mohon ...."
"Li ... ma."
Sampai dengan hitungan terakhir pun lelaki itu masih tak mau membuka mata. Ya, Lara tahu jika ini tak mungkin terjadi. Mereka hidup bukan di dalam dunia dongeng yang ketika sang putri datang untuk menguatkan, pangeran lantas terbangun dari tidur panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LA-RA
Teen Fiction[Yang sedang ingin menangis, mari membaca bersama.] [Yang sedang menggalau akan cinta, mari resapi setiap kata.] =================================================== Tentang seorang gadis berpenyakit mental yang juga menjadi target perundungan orang...