Page-49

405 63 4
                                    

49. Filosofi Bunga Mawar.

Minggu pagi yang damai. Setelah mendapat pesan bahwa Andra mengajaknya jalan, Lara bergegas mandi lantas memilah pakaian. Di depan cermin oval, gadis itu memperhatikan salinan lekuk tubuhnya yang sudah terbalut kemeja putih beserta celana jeans berpenampilan kasual.

Lara mengangkat tangan guna sedikit menata rambut hitam tergerai, lalu beralih mengenakan tas selempang. Gadis itu hendak melangkah ke luar, namun pergerakannya terhenti kala tanpa sengaja kedua mata menyorot suatu benda di atas meja.

Lara segera menjamah kerajinan tangan berbahan dasar rotan seraya mengulas senyuman merekah. Setiap kali menilik benda tersebut, semakin Lara terlarut ke dalam rasa bangga tiada kira. Terlepas dari siapa pemberinya, benda ini benar-benar indah.

Tak lama kemudian, Lara tersadar. Mendongak pada lingkaran jam yang terpajang. Enggan berlama-lama mengulur waktu, ia pun segera menyelipkan kerajinan rotan di antara bunga kering koleksinya, lantas kembali berjalan.

"Mau ke mana lo? Tumbenan rapi."

Baru saja Lara menutup pintu, seutas suara sudah menguar di tengah keheningan, tunai mengusik ketenangan. "Bukan urusan kamu," balasnya tidak begitu niat.

Rena berdesis malas seraya menyilangkan kedua tangan, menatap sinis pergerakan Lara yang sudah menuruni satu-persatu anak tangga.

"Sok kecakepan lo!" serunya dari lantai dua, sementara Lara sama sekali tak mengindahkan penuturannya.

Tepat pada pijakan tangga terakhir, sorot mata Lara tersambung dengan Messy yang sudah membawa sepiring makanan menuju meja, serta Jhops yang tengah bersantai menonton televisi di atas sofa. Alih-alih menyapa, Lara lantas berlalu bergitu saja. Bahkan untuk tersenyum pun rasanya tidak bisa. Sudah terlalu hampa.

"Rena ... sarapan dulu sayang!" panggil Messy dengan sesekali melirik punggung Lara yang sudah berjalan melaluinya.

Hari ini Lara benar-benar tidak ingin berurusan lebih dengan orang rumah. Melakukan aktivitas seperti biasa tanpa adanya perbincangan panjang pembawa malapetaka.

Sesampainya ia di depan gerbang, Lara langsung disambut oleh Andra yang sudah membukakan pintu mobil, jelas saja tak luput dari pandangan Messy yang sedang mengintip di balik hamparan kaca jendela ruang tengah.

"Kita mau ke mana?" tanya Lara kepada Andra yang sudah berfokus melajukan kendaraannya.

Lelaki berkacamata hitam dengan kemeja flanel itu berdeham panjang, lalu menghentikan laju kendaraan kala lampu merah berbinar.

"Ke tempat yang dapat mengubah sesuatu di antara kita," simpulnya enteng, tak peduli akan Lara yang sudah bingung sendirian.

Lara menolehkan kepala ke luar jendela, menikmati pemandangan pagi yang belum disesakkan oleh polusi. Udara segar yang benar-benar mampu menenangkan jiwa-jiwa usang.

Sudut bibir Lara terangkat mempersembahkan kebahagiaan. Kedua mata sudah terpejam tanpa sungkan. Hingga akhirnya gadis itu terkanjat ketika suatu benda sudah diselipkan paksa pada telapak tangan di atas paha.

Lara spontan merundukan kepala, menatap seikat bunga mawar merah dalam genggaman, lalu menolehkan kepala pada pemberi di sisi kanan.

"Untukmu," kata Andra yang sudah kembali memacu laju kendaraannya ketika lampu sudah berubah warna. "Tahu maknanya?"

Lara terdiam. Ingin menyahut, namun tak begitu yakin dengan suara yang semakin memaksa untuk segera diluahkan.

LA-RATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang